"Tolabul i’lmi minal mahdi ilal lahdi
(Tuntutlah Ilmu Mulai dari Buaian Sampai Liang Lahat)" (HR. Bukhori)

Masih lekat diingatan tentang pesan
pencerahan dari beberapa tokoh pendidikan, yakni Paulo Freire yang
mencoba mengkritik paradigma pendidikan Indonesia. Dalam bukunya Menggugat
Pendidikan Indonesia, Ia mengatakan bahwa Negeri ini telah lelah dengan
pembentukan dunia pendidikan "gaya bank". Karena dibalik itu
sebenarnya ada proses pelanggengan sistem relasi "penindasan",
sehingga cenderung melahirkan peserta didik yang pasif. Peserta didik
diibaratkan cawan kosong yang akan segera diisi oleh tenaga pendidik. Bagi
Freire, manusia memiliki 3 tahap kesadaran, yakni kesadaran magis, naif
dan kritis sehingga dengan hadirnya pendidikan seharusnya mewujudkan
tujuan utamanya yakni menumbuhkan kesadaran kritis itu. Selain daripada itu, Murtadha
Muthahhari juga mengkritik pendidikan anak bangsa yang cenderung masih
menggunakan paradigma pendidikan tradisional, yang mana pendidikan tradisional
menjadikan mereka layaknya "alat perekam". Dalam beberapa artikel
yang menuliskan pandangan Muthahhari tentang pendidikan, mengatakan bahwa
pendidikan selayaknya mengembangkan potensi berfikir kreatif pada diri peserta
didik serta membekali mereka dengan semangat kemerdekaan dalam proses
pengembangan potensi berfikir. Kedua tokoh ini setidaknya memberikan sumbangsih
besar dalam mencetuskan "revolusi berfikir" peserta didik dan meletakkan
pondasi dasar paradigma pendidikan yang memanusiakan manusia serta mengatakan
TIDAK atas penindasan terhadap potensi dan fitrah peserta didik sebagai seorang
manusia.
Pendidikan di tingkat universitas pun telah
mengalami pereduksian makna, banyaknya universitas yang berdiri kokoh nan megah
dengan bangunannya yang kokoh toh tidak menjamin mahasiswanya tumbuh menjadi
cerdas dan berakhlak mulia. Bukankah suatu tempat yang namanya
"Universitas" adalah perkumpulan orang-orang yang dapat dikatakan
sebagai "rakyat" dari suatu "negara intelektual" atau
"negara akademis". Tapi begitulah potret pendidikan yang masih banyak
dilakonkan oleh bangsa ini. Pendidikan menjadi "sakit" sebab Sistem
pendidikan yang tidak bermutu, kesempatan pendidikan yang tidak paralel dengan
kesempatan memperoleh kerja. Terlebih lagi kecerdasan peserta didik diukur oleh
deretan angka-angka yang dikenal dengan IPK sehingga ijazah menjadi rukun
iman masa depan yang harus diperjuangkan, alih-alih tersedialah
"kantor transaksi" ijazah kilat.
Bangsa ini sungguh aneh, perjalanannya
ironi menembus roda zaman. Dalam dunia pendidikan dan kerja, kualitas
keilmuan menjadi the second item, keilmuan dan spiritualitas menjadi dua
sisi yang saling terpisahkan. Apakah bangsa Indonesia akan benar-benar membuat
suatu kebudayaan masyarakat modern yang liberal, pendidikan yang lengang dari
moralitas, membentuk sistem sosial yang membuat setiap orang merasa kesepian
sambil bekerja seperti mesin dan menghibur diri seperti binatang, dengan
tingkat frustasi sosial yang tinggi. Sehingga tak ada lagi ruang untuk sekedar
saling menyapa dan menciptakan hubungan yang manusiawi. Maka tak heranlah,
sejumlah konflik tak kunjung henti "bertamu" di negeri ini,
penyelesaian masalahnya pun yang seharusnya masih bisa ditempuh melalui dialog
intelektual, mengambil jalan pintas dengan menggunakan kekerasan fisik.
Jika sudah seperti itu adanya negeri ini,
maka pantaslah bangsa ini mendapat julukan bangsa selembar ijazah. Tapi
bagi anak-anak kehidupan, virus ini harus segera dicari pencegahannya agar
tidak menular terlalu jauh. Ada pesan bijaksana yang dikatakan Aristoteles
bahwa pendidikan adalah bekal terbaik untuk hari tua dan semoga ingatan
tentang sabda Rasulullah saw bahwa "menuntut ilmu merupakan kewajiban
atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah)" masih segar dan menjadi semangat
untuk terus mencari ilmu untuk diaplikasikan dalam rutinitas kehidupan dan
menjadi kendaraan amal di dunia yang berorientasi pada pencapaian "titik
ketunggalan".
0 komentar:
Posting Komentar