A. SEDEKAH DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Sedekah menurut Al-Qur’an dan
Hadits

Sedekah
atau shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah
orang yang benar pengakuan imannya.[3] Menurut terminologi syariat,
pengertian sedekah
sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya.
Infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas, menyangkut
hal yang bersifat nonmaterial.
Sedekah
dalam pengertian bukan zakat sangat dianjurkan dalam Islam dan sangat baik
dilakukan tiap saat. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjurkan
kaum muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Diantaranya adalah:
”Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S.
Al-Baqarah: 261)
Menurut
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa ayat ini tidak dimulai
dengan mewajibkan ataupun menugaskan, namun hanya anjuran dan memberikan
rangsangan atau pengaruh. Metode seperti ini sangat efektif untuk membangkitkan
perasaan dan menimbulkan kesan-kesan yang hidup didalam jiwa manusia. Jadi
harta yang disedekahkan akan berkembang dan memberikan keberkahan kepada
pemiliknya.[4]
Adapun
di ayat lain disebutkan: “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah
baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 271)
Dalam
ayat ini, maksud kata menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang
lain. Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, Karena
menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula
menyakitkan hati orang yang diberi.
Islam
menganjurkan pengikutnya untuk bersedekah dalam berbagai bentuk, diantaranya: “Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah: 263)
Menurut
Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa perkataan yang baik ini
adalah perkataan baik yang dapat membalut luka dihati dan mengisinya dengan
kerelaan dan kesenangan. Sedangkan pemberian maaf yang baik adalah yang dapat
mencuci dendam dan kebencian didalam jiwa, dan menggantinya dengan persaudaraan
dan persahabatan. Jadi perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik dalam
kondisi seperti itu akan dapat menunaikan fungsi sedekah, yaitu membersihkan
hati dan menjinakkan jiwa.[5]
Ayat
diatas menjelaskan bahwa perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik itu
merupakan bentuk sedekah, dan keduanya lebih baik dari pada memberi sedekah
berupa materi namun diiringi dengan perkataan yang dapat menyinggung ataupun
menyakiti perasaan si penerima.
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”(Q.S
Al-Baqarah: 276)
Dalam
ayat diatas yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu
atau meniadakan berkahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah
ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat
gandakan berkahnya, dan selalu berbuat dosa maksudnya ialah orang-orang yang
menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Sedekah
terbagi menjadi dua bentuk, yang bersifat tangible atau material atau
fisik, dan yang bersifat intangible atau non fisik. Didalam sedekah yang
bersifat tangible terdapat dua jenis sedekah diantaranya yang bersifat
wajib seperti zakat fitrah maupun maal, dan sedekah yang bersifat sunnah
(shadaqah jariyah). Sedangkan yang bersifat intangible meliputi lima
macam, [6]
yaitu pertama: tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Kedua: berasal
dari badan berupa senyum, tenaga untuk bekerja dan membuang duri dari jalan dan
lain-lain. Ketiga: menolong atau membantu orang
yang kesusahan yang memerlukan bantuan. Keempat menyuruh kepada kebaikan atau yang ma’ruf , sedangkan yang terakhir,
menahan diri dari kejahatan atau merusak.[7]
Meskipun
sedekah yang tangible bersifat sunnah, namun sedekah mempunyai kemampuan yang
dahsyat dibandingkan dengan infak maupun zakat, terlihat dalam surat
Al-Munafiqun (63): 10, “Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan
kematianku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah, dan
aku termasuk orang-orang yang shaleh”.
Sedekah
dalam konsep Islam mempunyai arti yang luas, tidak hanya terbatas pada
pemberian sesuatu yang sifatnya materiil kepada orang-orang miskin tetapi
sedekah juga mencakup semua perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non
fisik. Bentuk-bentuk sedekah dalam ajaran Islam dapat dilihat dalam hadits Nabi
Muhammad SAW berikut ini:
Rasulullah
SAW bersabda: “kepada tiap muslim dianjurkan bershadaqah”, para Sahabat
bertanya, “Hai Nabi, bagaimana orang-orang yang idak mendapatkan sesuatu yang
akan dishadaqahkan?”, Rasulullah SAW menjawab, “hendaklah dia dengan tenaganya
hingga memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu dia bershadaqah (dengannya).”
Mereka bertanya lagi, “jika dia tidak memperoleh sesuatu?” Rarulullah SWA
menjawab lagi, “Hendaklah dia melakukan kebaikan dan menahan diri dari
kejahatan, karena hal itu merupakan shadaqahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).[8]
Rasulullah
saw. menjelaskan tentang cakupan sedekah yang begitu luas, sebagai jawaban atas
kegundahan hati para sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bersedekah
dengan hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya.
Dari
Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang
akan dinaungi Allah dibawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain
naungan-Nya, lalu ia menyebutkan hadits ini, dan didalamnya disebutkan,
“....Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia
merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan
oleh tangan kanannya”. (Muttafaq Alaih)[9]
Hadits
ini menjelaskan keutamaan merahasiakan sedekah dari pada melakukannya secara
terang-terangan, kecuali jika orang tersebut tahu bahwa ketika ia melakukannya
secara terang-terangan maka perbuatan tersebut akan menjadi motivasi orang lain
untuk mengikutinya, atau ia boleh melakukannya jika mampu menjaga rahasianya
dari godaan-godaan riya’.
2. Sedekah menurut Ulama Fiqh
Menurut Yusuf Qardhawi, “Sedekah adalah
pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama
kepada orang-orang miskin, setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan baik
jenis, jumlah maupun waktunya”.[10]
Sedekah sama pengertiannya dengan infaq, perbedaannya adalah infaq hanya berkaitkan
dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas menyangkut juga hal yang bersifat
non materil.
Menurut Ibnu Qoyyim, “Sedekah itu
bisa memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk menolak berbagai macam bencana
sekalipun pelakunya orang yang fajir (pendosa), zolim, atau bahkan orang kafir,
karena Allah akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan
shadaqah tersebut.”[11] Karenanya
sedekah itu menjadi penting untuk diamalkan. Sedekah dapat menjauhkan diri dari
segala musibah dan kemunkaran.
Imam Ghazali
mengatakan, bahwa manusia itu terbagi menjadi empat golongan. yakni, (1)
manusia yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu; (2) manusia
yang tidak tahu tapi tahu bahwa dirinya tidak tahu; (3) manusia yang tahu tapi
dirinya tidak tahu bahwa dirinya tahu, dan (4) manusia yang tahu dan tahu bahwa
dirinya tahu.” Kalau sudah sampai ke maqam yang keempat, maka ia akan menjadi
Muslim yang sangat baik, salah satu tandanya adalah gemar bersedekah.
Para
fukaha sepakat bahwa hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala
bila dilakukan dan tidak berdosa bila ditinggalkan. Sebagaimana
dalam kitab Kifayatul Akhyar, berkata Syaikh Abu Syujak: “Shadaqah tatawwu’
hukumnya sunnah, terutama pada bulan Ramadhan lebih dikukuhkan kesunnahannya
dan sangat disunnahkan berlapang dada (bermurah hati) dalam bulan Ramadhan
itu”.[12]
Demikian
pula sedekah disunnahkan ketika menghadapi suatu perkara atau masalah yang
penting. Ketika sedang sakit atau sedang berpergian. Dari penjelasan tersebut
dapat disimpulkan walaupun shadaqah at-tatawwu’ adalah sunnah, akan tetapi
shadaqah at-tatawwu’ sangat dianjurkan oleh Allah maupun Rasul-Nya.
Di
samping sunah, ada pula hukum sedekah itu menjadi haram, yaitu dalam kasus
seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang menerima sedekah
akan menggunakan harta sedekah itu untuk kemaksiatan. Kemudian bila seseorang
yang bersedekah menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat menyakiti hati orang
yang menerima sedekah, ataupun bersifat riya’. Seperti yang diungkapkan pada
ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala)sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya, dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia..…”. (Al-Baqarah: 264)
Kemudian
hukum shadaqah tatawwu’ dapat berubah menjadi wajib, bila seseorang bertemu
dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan
jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan
saat itu. Hukum shadaqah tatawwu’ juga menjadi wajib jika seseorang bernazar
ingin bershadaqah kepada seseorang atau lembaga.
B.
SEDEKAH HARTA
Sedekah harta merupakan pemberian suatu barang yang
bernilai atau pun uang dari seseorang kepada
orang lain dengan benar-benar mengharap keridhoan Allah SWT.
Manusia diciptakan
dengan kecenderungan mencintai harta benda. Semua manusia memiliki
kecenderungan ini. Allah berfirman:
“Dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20) dan “Dan
sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta”
(Al-‘Adhiyat:8)
Allah-lah yang telah mewahyukan kecintaan ini kepada seluruh
manusia untuk hikmah tertentu, yaitu agar Allah menguji manusia. Dengan
demikian, tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang beriman
yang rajin bersedekah pun, bukan orang-orang yang tidak mencintai hartanya.
Orang-orang yang rajin bersedekah adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu
sehingga tidak melebihi batasnya.
Itulah sesungguhnya yang terjadi
pada mereka. Kisah Abu Thalhah diatas menggambar kepada kita bagaimana kondisi
hati Abu Thalhah saat ia menyedekahkan hartanya itu. Ia menyadari bahwa harta yang
akan ia sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan
tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari pada seruan perasaan
yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Jadi, para pensedekah itu tetap
mencintai hartanya. Namun, kerelaan hatinya lebih besar, imannya lebih kuat,
cita-citanya lebih tinggi, kegembiraannya saat orang lain ikut berbahagia lebih
menyenangkan baginya dan kedigdayaan agamanya lebih diharapkan olehnya. Ia
tidak segan berkorban. Bukan hanya dengan hartanya, jiwanya pun selalu siap ia
korbankan untuk meraih kemuliaan itu.
Menurut Imam Ibnul Qoyyim,
“Apabila Rasulullah melihat seseorang yang bakhil, beliau mendoakannya agar
keadaan berubah, sehingga mau berkorban dan memberi. Barangsiapa yang
berinteraksi dengan beliau dan melihat petunjuk beliau, niscaya ia tidak kuasa
untuk menolak toleransi dan seruan beliau.”
“Al-Hasan mengatakan: Al Ahnaf
pernah melihat seorang laki-laki yang menggenggam uang dirham. Lalu ia
bertanya: “Milik siapa itu?”, lelaki itu menjawab: “Milikku”, Al Ahnaf berkata:
“Tidak, uang itu bukan milikmu hingga engkau mengeluarkannya untuk mendapatkan
pahala atau sebagai rasa syukur”.
Perkataan
tersebut menjelaskan bahwa didalam harta yang kita punya masih terdapat hak
orang lain yang membutuhkan, dan akan menjadi milik kita apabila telah
dikeluarkan untuk sedekah dan berbagi kepada orang lain.
Adapun
hadits lain yang menyebutkan bahwa sedekah yang dikeluarkan merupakan kelebihan
dari harta. Dalam hadits ini digambarkan:
Dari Hakim bin
Hizam ra. Dari Nabi SAW bersabda, “tangan yang diatas lebih baik dari pada
tangan yang dibawah, dan mulailah dari orang-orang yang engkau tanggung, dan
sebaik-baik sedekah adalah dari kelebihan harta. Barang siapa menjaga
martabatnya maka Allah akan menjaga martabatnya, dan barang siapa yang merasa
cukup maka Allah akan mencukupinya”. (Muttafaq Alaih, dengan lafadz
Al-Bukhari).[13]
Hadits diatas
menunjukkan bahwa dalam bersedekah hendaknya diutamakan orang-orang yang berada
didalam tanggungannya sesuai dengan prioritasnya. Ukuran sedekah yang baik
adalah jika seseorang mengeluarkan sedekah, dan setelah mengeluarkan sedekah
tersebut masih tersisa harta yang cukup untuk menutupi keperluannya. Hal ini
disebabkan bila seseorang yang menyedekahkan seluruh hartanya biasanya ia akan
menyesal dan berfikir ulang sekiranya tidak menyedekahkan seluruh hartanya saat
ia terhimpit dengan kebutuhannya.
Berkaitan dengan seseorang yang
menyedekahkan seluruh hartanya, para ulama berbeda pendapat, Al-Qadhi Iyyadh
mengatakan:
“Para ulama dan
para imam diberbagai penjuru negeri memperbolehkannya”. Sedangkan menurut
Ath-Thabari, “Walaupun hal itu diperbolehkan, namun yang lebih dianjurkan agar
tidak melakukannya atau cukup sepertiga dan hartanya”.[14]
Dalam hadits lain
disebutkan:
Rasulullah
bersabda, “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah sekedar sedekah,
sedangkan sedekah kepada kerabat adalah sedekah dan pererat silahturahmi.” (HR
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Maajah)
Dalam konsep
Islam, harta yang dikeluarkan untuk sedekah tidak akan berkurang bahkan akan
bertambah. Hal ini digambarkan dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah
ra Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah harta itu berkurang karena
sedekah, Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan
melainkan kemuliaan. Dan tiadalah seseorang yang merendahkan diri karena Allah,
melainkan Allah Yang Maha Mulia Lagi Maha Agung akan mengangkat derajatnya.”
(HR. Muslim).[15]
Sedekah yang dilakukan dalam
kondisi hati sangat terpaut dengan harta, dengan faktor-faktor yang membuat
seseorang menjadi kikir, ternyata memiliki nilai tersendiri. Perhatikan sabda
Nabi berikut ini:
“Seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah! Sedekah
seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab, “Kamu
bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan
kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di
kerongkongan, kamu baru mengatakan, “bagi si fulan bagiannya segini dan
segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (Hadis Riwayat Bukhari
Muslim)
Begitu pun dengan harta benda, harta
tidak tercela karena dzatnya Allah dalam Al-Quran justru membahasakannya
sebagai “khair”, yang artinya kebaikan. Seperti dalam firman Allah:
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan Khairan (harta) yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
Sedekah adalah salah satu manfaat
dan kebaikan harta. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali
dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam
beribadah. Pada kisah para sahabat yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam tadi, dalam riwayat lain dikisahkan, setelah para sahabat mendapat
penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang sedekah dengan selain
harta, mereka kemudian pulang. Namun tidak lama kemudian, mereka datang lagi
kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengatakan bahwa orang-orang
berharta juga mendengar apa yang kami lakukan dan mereka pun mengamalkannya.
Saat itu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam hanya bisa menjawab dengan firman
Allah, “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya,” (Al-Maidah: 54) (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Walau demikian, manusia harus
tetap berhati-hati. Allah sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah. Daya
tarik harta terlalu sering menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, sikap
takabbur dan prilaku melebihi batas. Sebagaimana dengan sebab harta manusia
bisa beribadah, dengan sebab harta pula manusia bisa dengan mudah berbuat
kemungkaran. Inilah diantara hikmah mengapa Allah membatasi rizki-Nya kepada
sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan perbuatan melampaui batas. Allah
berfirman,
“Dan jikalau
Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui
batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syura: 27)
Dengan harta biasanya manusia
menjadi orang yang suka bermewah-mewahan. Dan, Allah mengabarkan kepada kita
bahwa orang-orang yang hidup mewahlah yang selalu menjadi penentang para utusan
Allah.
Nabi
SAW berpesan kepada orang miskin, agar mereka tidak
menghalangi dirinya dari keutamaan dan pahala sedekah harta. Mereka
boleh bersedekah sesuai dengan kemampuannya, meskipun sedikit. Sebab menyedekahkan
harta yang dibutuhkan meski sedikit, jauh lebih baik dari pada
menyedekahkan harta yang tidak dibutuhkan meski banyak. Hal ini
dikarenakan motivasi orang tak punya dalam bersedekah harta
adalah keimanan, tawakal kepada Allah, serta keyakinan terhadap
rezeki dan bantuan Allah.[16] Berbeda dengan orang kaya yang
bersedekah dari hartanya yang berlimpah. Artinya yang miskin dan tidak punya
harta juga dapat bersedekah.
C. DAKWAH MELALUI BUKU SEBAGAI MEDIA SOSIALISASI
1. Definisi Dakwah
Dakwah secara etimologis berasal
dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u, da’wan, du’a,[17]
yang diartikan sebagai mengajak/menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan
permintaan. Istilah ini sering diartikan sama dengan itilah-istilah tabligh,
amr ma’ruf, dan nahi munkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah,
tarbiyah, ta’lim, dan khotbah. Namun dakwah mengandung pengertian yang
lebih luas dari istilahistilah tersebut, karena istilah dakwah mengandung makna
sebagai aktivitas menyampaikan ajaran Islam, menyuruh berbuat baik, dan
mencegah perbuatan munkar, serta memberi kabar gembira dan peringatan bagi
manusia.
Menurut
Muhammad Munir, dakwah adalah aktifitas dan upaya untuk mengubah manusia, baik
individu maupun masyarakat dari situasi yag tidak baik kepada situasi yang
lebih baik.[18]
2.
Unsur-unsur Dakwah
a) Da’i (Pelaku) Dakwah
Da’i
adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan
yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat organisasi/lembaga.
Secara umum kata da’i sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang
menyampaikan ajaran Islam), namun sebenarnya sebutan ini konotasi ini sangat
sempit, Karena masyarakat cenderung mengartikannya sebagai orang yang
menyampaikan ajaran Islam melalui lisan, seperti penceramah agama, khatib
(orang yang berkhotbah), dan sebagainya.
Nasarudin
Lathief mendefinisikan bahwa da’I adalah muslim dan muslimat yang menjadikan
dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama. Ahli dakwah adalah wa’ad,
mubaligh mustama’in (juru penerang) yang menyeru, mengajak, memberi pengajaran,
dan pelajaran Agama Islam. [19]
b)
Mad’u (Penerima) Dakwah
Mad’u
yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam
maupun tidak, atau dengan kata lain manusia keseluruhan. Kepada manusia yang
belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama
Islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan
meningkatkan kualitas iman, islam dan ihsan.
c)
Maddah (Materi) Dakwah
Maddah
Dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada Mad’u. secara
umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat pokok, yaitu:
1. Masalah Aqidah (Keimanan)
2. Masalah Syariah
3. Masalah Muamalah
4. Masalah Akhlak
d) Wasilah (Media) Dakwah
Wasilah (media) dakwah adalah
alat yang digunakan untuk menyaampaikan materi dakwah /ajaran Islam kepada
mad’u. untuk meyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan
berbagai wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, lukisan,
audiovisual, dan akhlak.
e) Thariqah (Metode) Dakwah
Metode
dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan
ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode sangat
penting peranannya, karena suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat
metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima
pesan.
Metode dakwah ada tiga, yaitu: bi
al hikmah, mau’izatul hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan.(Q.S An
Nahl:125)
f) Atsar (efek) Dakwah
Dalam setiap aktivitas dakwah
pasti akan menimbulkan reaksi. Artinya jika dakwah telah dilakukan oleh seorang
da’i dengan materi dakwah, wasilah dan thariqah tertentu, maka akan timbul
respons dan efek pada mad’u (penerima dakwah).
Atsar sering disebut dengan
feedback (umpan balik) dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak
banyak menjadi perhatian para da’i. kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah
dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya
dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar
dakwah, maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian
tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya dengan menganalisis atsar
dakwah secara cermat dan tepat, maka kesalahan strategi dakwah akan segera
diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya.
Demikian juga strategi dakwah termasuk didalam penentuan unsur-unsur dakwah
yang dianggap baik dapat ditingkatkan.[20]
Salah
satu tujuan dakwah adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses
mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat baru.[21]
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai proses seorang anak belajar menjadi
seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.[22]
Artinya sosialisasi merupakan proses mengkomunikasikan ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk mempengaruhi dan mengajak, sehingga memungkinkan orang bersikap
dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan.
Media
sosialisasi merupakan sarana dan modal penting dalam melaksanakan peningkatan
partisipasi masyarakat. Melalui
media sosialisasi masyarakat Indonesia yang religius dapat didorong untuk
berlomba dalam beramal shaleh.
Menurut
Haris Munandar, Para peneliti umumnya sependapat bahwa media lebih cenderung
memodifikasi dari pada mengubah perilaku. Sebagai contoh, bila sebuah kelompok
menentang Tennessee Valley Authority disodori pendapat-pendapat yang mendukung,
mereka tidak akan lantas mendukung, melainkan sekedar menurunkan bobot
tentangannya.[23]
Media bukan saja bisa menjadi pembujuk yang kuat, namun media juga bisa
membelokkan perilaku atau sikap-sikap yang ada terhadap suatu hal. Sejumpah
pengamat percaya bahwa kekuatan periklanaan begitu kuat karena peran media.
Medialah yang mendorong konsumen untuk memilih suatu produk tertentu dengan
meninggalkan produk lain untuk berganti merek.[24]
Masalah sosialisasi, tidak luput dari
metode-metode yang harus digunakan. Adapun metode-metode sosialisasi tersebut,
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Metode langsung, yaitu
bertatap muka antara komunikator dengan
komunikan.
a) Ceramah
b) Diskusi
c)
Sarasehan, penyampaian materi secara non formal dan berbincang- bincang.
d) Media
Percontohan, menerangkan kisah-kisah keberhasilan dengan harapan dijadikan
contoh oleh orang lain.
2. Metode Tidak
Langsung,
a) Media Cetak, suatu informasi atau
pengetahuan yang dapat memberikan data secara detail dan mendalam melalui media
cetak.
b) Buku, sosialisasi dapat dilakukan dalam
bentuk penulisan buku, agar cepat mendapat perhatian dan mampu mempengaruhi
masyarakat.
c) Brosur, majalah, Surat kabar/ Tabloid,
Spanduk, Pamflet, Media elektronik, Radio, Internet, Billboard.
C. SOSIALISASI SEDEKAH
DI ZAMAN RASUL DAN SAHABAT
Sedekah dalam Islam sangat
dianjurkan sebagai wujud jiwa sosial dan agar
terciptanya satu kesatuan dalam kehidupan, khususnya dibidang ekonomi
umat Islam. Setiap sedekah yang dikeluarkan balasannya pasti akan kembali
kepada diri sendiri. Sekecil apapun harta yang disedekahkan dijalan Allah
dengan ikhlas, niscaya akan Allah balas dengan berlipat ganda, dan terkadang
dari arah yang tidak disangka-sangka. Ketika kita menolong seseorang, mungkin
orang tersebut tidak bisa membalas kebaikan kita, akan tetapi Allah pasti
menggerakkan tangan-tangan yang lain untuk membalas kebaikan yang telah kita
lakukan tersebut.
Hal inilah salah satu alasan
Rasulullah saw memerintahkan para sahabat yang sedang bersiap menuju Perang
Tabuk untuk mengeluarkan sedekah. Ketika itu, kepada Rasulullah turun ayat
tentang sedekah. ”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[25]
Seruan Rasulullah saw. Itu
disambut seketika oleh Abdurrahman bin ’Auf dengan menyerahkan empat ribu
dirham miliknya seraya berkata, ”Ya Rasulullah, harta milikku hanya delapan
ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan
empat ribu dirham lagi aku serahkan dijalan Allah”. ”Allah memberkahi apa yang
engkau tahan dan apa yang engkau berikan,” jawab Rasulullah saw.
Kemudian datang sahabat lainnya,
Utsman bin Affan. ”Wahai Rasulullah, saya akan melengkapi peralatan dan pakaian
bagi mereka yang belum mempunyainya,” ujarnya. Adapun Ali bin Abi Thalib ketika
itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham pada
waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan,
dan satu dirham lagi secara diam-diam.
Para sahabat begitu antusias dan
spontan menyambut seruan untuk bersedekah, karena mereka yakin bahwa akan ada
balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala, dan pelipat ganda
rezeki; seperti sebulir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap
bulir itu terjurai seratus biji. Artinya Allah yang Mahakaya akan membalasnya
hingga tujuh kali lipat.
Rasulullah menggambarkan sedekah
dalam hadits dibawah ini:
Rasulullah
SAW bersabda: “kepada tiap muslim dianjurkan bershadaqah”, para Sahabat
bertanya, “Hai Nabi, bagaimana orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang
akan dishadaqahkan?”, Rasulullah SAW menjawab,
“hendaklah dia dengan tenaganya hingga memperoleh keuntungan bagi
dirinya lalu dia bershadaqah (dengannya).” Mereka bertanya lagi, “jika dia
tidak memperoleh sesuatu?” Rarulullah SWA menjawab lagi, “Hendaklah dia
melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan
shadaqahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).[26]
Dalam
hadits lain dikatakan:
Dari Abu Dzar
rodhiallohu‘anhu dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah melapor, “Wahai
Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana
kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat
bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah
menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada
setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah, dan pada setiap tahlil ada sedekah,
menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan
mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah
jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?”
Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram,
bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang
halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)[27]
Dari kedua hadits diatas
menyatakan bahwa sedekah tidak hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang
sifatnya materiil kepada orang-orang miskin tetapi sedekah juga mencakup semua
perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik. Sedekah yang paling utama adalah memberikan
kepada yang paling membutuhkan, yaitu 8 ashnaf.
Rasulullah sukses membangun
masyarakat Muslim yang sejahtera, adil dan makmur di atas landasan kasih
sayang, antara lain sedekah. Sedekah itu mempunyai artinya sangat luas, tidak
hanya berupa mengeluarkan harta benda untuk orang-orang dhuafa. Mengusap kepala
anak yatim juga termasuk sedekah. Membantu orang-orang tua yang kesulitan
melangkah atau membawa sesuatu juga termasuk sedekah. Bahkan, menyingkirkan
duri dari jalan juga termasuk sedekah.
Rasulullah memberikan contoh
melalui perbuatan dan perkataannya. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh
Imam Ibnul Qoyyim:
“Apabila beliau melihat seseorang
yang bakhil, beliau mendoakannya agar keadaan berubah, sehingga mau berkorban
dan memberi. Barangsiapa yang berinteraksi dengan beliau dan melihat petunjuk
beliau, niscaya ia tidak kuasa untuk menolak toleransi dan seruan beliau.”
“Al-Hasan mengatakan: Al Ahnaf
pernah melihat seorang laki-laki yang menggenggam uang dirham. Lalu ia
bertanya: “Milik siapa itu?”, lelaki itu menjawab: “Milikku”, Al Ahnaf berkata:
“Tidak, uang itu bukan milikmu hingga engkau mengeluarkannya untuk mendapatkan
pahala atau sebagai rasa syukur”.
Perkataan tersebut menjelaskan
bahwa didalam harta yang kita punya masih terdapat hak orang lain yang
membutuhkan, dan akan menjadi milik kita apabila telah dikeluarkan untuk
sedekah dan berbagi kepada orang lain.
Pada zaman Rasulullah dan
Sahabat, sedekah tidak dikordinir seperti halnya zakat. Sedekah diberikan
secara langsung kepada orang yang membutuhkan tanpa melalui Baitul Mal ataupun
lembaga sedekah. Berdasarkan literatur hadits bahwa Rasulullah bersedekah
dengan berbagai cara, dan mensosialisasikannya melalui perkataan dan perbuatan
beliau saat itu.
Dalam kaitannya dengan hal ini,
Islam telah memberikan contoh bagaimana kesigapan Negara dalam membantu rakyat
yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khattab pada suatu malam pernah
melakukan inspeksi keperkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar
rintihan anak menangis dari arah sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah
tersebut dan memperhatikannya dari luar. Ternyata anak itu menangis karena
lapar, sedangkan orangtuanya tidak lagi memiliki bahan makanan.
Sang ibu mencoba menghibur
anaknya dengan berpura-pura menanak makanan padahal yang dimasak adalah batu.
Si ibu berharap anaknya tertidur sambil menunggu makanan yang sedang dimasak.
Setelah mengetahi kondisiyang terjad, khalifah Umar pun bergegas mengambil sekarung
bahan makanan dari Baitul Mal lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada
keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah salah satu tanggung
jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.[28]
[1] Yusuf mansur, Allah Maha
Pelindung, Maka Engkau Gampang Siasati Krisis, (Bandung:PT Karya Kita,
2008), h. 23.
[5]
Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Zhilalil-Qur’an I, h. 362.
[8] Elsbeth Bauer, Pengantar
Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), h. 5.
[9] Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan
oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram
Jilid 2, (Jakarta: Darus Sunnah Press, cet. ke-2, 2008), h. 70.
(ﺼﺣﻳﺢ) Hadits ini adalah shahih
terdapat dalam kitab riwayat Al-Bukhari (1423) dan Muslim (1031)
[10]
Kholid bin Sulaiman, Shodaqoh
memang Ajaib, (Jakarta: Daarul Qoosim, cet.1, 2006), h. 56.
[11] Kholid bin Sulaiman, Shodaqoh
memang Ajaib, h. 57.
[12] Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin
Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar Fii Ghayatil Ikhtishar,
diterjemahkan oleh Syarifuddin Anwar, K.H, (Surabaya: CV. Bina Iman, 1995),
Cet.II, h. 455.
[13]
Muhammad bin Ismail Al-Amir
Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan
oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram
Jilid 2, h. 74.
(ﺼﺣﻳﺢ) Hadits ini adalah shahih
terdapat dalam kitab riwayat Al-Bukhari (1427) dan Muslim (1034)
[14] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani,
As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali
Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2, h. 74.
[15]
Ahmad Sangid, Dahsyatnya Sedekah, (Jakarta: QultumMedia, 2008), h. 40.
[17]
Majma al-Lughah al-‘Arabiyah, 1972: 286
[19] Nasaruddin Lathief, Teori dan Praktik Dakwah Ilmiah, (Jakarta:PT
Firma Dara), h. 11.
[20] Muhammad Munir, Manajemen
Dakwah, h. 34
[21]
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Edisi Baru), (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1993), cet. Ke-3, h. 408
[22]
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: FEUI, 2000), ed.2, h.
23.
[23] Haris Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa dan Masyarakat Modern,
(Jakarta: Prenanda Media, 2004), cet.ke-2, h. 255.
[24] Haris Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa dan Masyarakat Modern,h.
256.
[25] Al
Qur’an dan terjemahannya, Lihat Q.S. Al-Baqarah(2): 261
[26] Elsbeth Bauer, Pengantar
Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), h. 5.
[27]
Elsbeth Bauer, Pengantar
Hukum Zakat dan Wakaf, h. 5.
[28] Yusuf Mansur, Allah Maha
Pelindung: Maka Engkau Gampang Siasati Krisis, h. 11.
2 komentar:
Partisipasi dan amal jariyah dalam perluasan dan pembangunan masjidil
haram dan masjid Nabawi
1. Niat Ibadah ( dari Allah,Karena Allah dan untuk Allah)
2. Membawa beberapa batu kerikil kecil yang Haq dari tanah air
3. Point no 2 dapat dibawa sendiri/ dititipkan kepada Jamaah yang akan
berangkat Umroh dan Haji
4. Batu kerikil diletakkan diarea yg sedang dibangun/di Cor semen
5. Atau dititipkan kepada pekerja pembangunan agar diletakkan ditempat
tersebut
6. Mudah-mudahan Allah Ridho dengan apa yang kita kerjakan
* Umumnya waqaf qur'an
* Tidak ada kotak amal di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
* Mungkin Batu kerikil tidak berarti untuk sebagian orang,akan tetapi
jika diletakkan di kedua Masjid tersebut,paling tidak batu kerikil ini
akan menjadi bagian terkecil dari bangunan tersebut.
* Moment Perluasan dan Pembangunan Masjidil haram dan Masjid Nabawi
083876762887
Bagaimana dengan yang dgn yang satu ini.
ass.wr.wb .
Hal : Permohonan Batuan Sukarela ( ke iklasan )
lampiran : 1 ( satu )
Sebelumnya kami mohon maaf , bila kami salah menempatkan . Sebetulnya kami tidak ingin ikut* an di tempat publik seperti ini . Kami terus terang sangat malu sekali .
Tapi berhubung kami sangat terpaksa kita nyampaikan apa adanya .Kalau kami benar adanya korban phk. Berhubung kami sudah cukup umur 48 th nan lebih secara otomatis .Untuk mencari pekerjaan lagi sangat sulit. Untuk mencukupi kebutuhan hidup kami terus terang hanya berjualan makan . Ke untungan bisa di lihat dan di takar kalau itu laku dagangannya .Jika tidak yg ada tekor atau rugi .
Kami masih ada tanggungan 3anak lg yg harus di cukupi kebutuhan sekolah dan harian nya. Untuk kebutuhan yg sangat tinggi sangat sulit jika ke 3 anak * kami harus sekolah tinggi , dengan pendapatan hasil usaha yg terkadang rugi dan modal kadang di makan untuk kebutuhan .
sehingga kami sangat sulit untuk berdagang selanjutnya . karena seringnya dagangan tidak menguntungkan . Kami jadi banyak hutang .
Andai di perkenankan di tempat ini dan jika ada yg ingin membantu kami tanpa pamrih , iklas lilahita ala . Khususnya kepada para pembaca atau donatur , dermawan , yg ingin menyumbangkan dana atau uang . kami mengucapkan banyak terima kasih . Semoga Allah saw melimpahkan rezeki yg berlimpah . Dan Allah yg akan membalasnya .
Andai para pembaca atau demawan yg tdk percaya pada kami itu hak nya mereka .
Sebab Allah saw jika kita tidak minta dan tidak mengucap kami di anggap sombong padahal benar kami sedang dalam kesulitan dan keterpurukan .
Untuk lebih memudahkan dalam sedekah atau membantu kami silahkan para dermawan , donatur, pembaca mengisi seiklasnya di nomer rek bca 2861924833 atas nama siti jamilah .
Untuk saat jni kami dalam kesulitan / terpuruk . Kami mohon dengan kesadarannya menolong kami .Besar atau kecil yg penting iklas dan redo .Sehingga bermanfaat untuk kami . Sebelum dan sesudah kami beserta keluarga mengucapkan .Terima kasih.
Semoga Allah saw membalasnya . Wassalam
salam dari ibu siti jamilah.
Komentar
Posting Komentar