Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Sabtu, Mei 11, 2013

Sedekah Menurut Islam


A.     SEDEKAH DALAM PANDANGAN  ISLAM
1.      Sedekah menurut Al-Qur’an dan Hadits
Sedekah secara umum adalah pemberian sebuah barang atau apapun kepada orang lain dengan benar-benar mengharap keridhoan Allah SWT.[1] Dalam pengertian kamus Arab Indonesia mengenai sedekah H. Mahmud Yunus menulis sedekah berasal dari kata ”shadaqa-yashduqu-shadaqatan” yang artinya memberikan sedekah dengan sesuatu.[2]
Sedekah atau shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.[3] Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Infak hanya berkaitan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat nonmaterial.
Sedekah dalam pengertian bukan zakat sangat dianjurkan dalam Islam dan sangat baik dilakukan tiap saat. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Diantaranya adalah:

”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 261)
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa ayat ini tidak dimulai dengan mewajibkan ataupun menugaskan, namun hanya anjuran dan memberikan rangsangan atau pengaruh. Metode seperti ini sangat efektif untuk membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan-kesan yang hidup didalam jiwa manusia. Jadi harta yang disedekahkan akan berkembang dan memberikan keberkahan kepada pemiliknya.[4]
Adapun di ayat lain disebutkan: “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), Maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Baqarah: 271)
Dalam ayat ini, maksud kata menampakkan sedekah dengan tujuan supaya dicontoh orang lain. Menyembunyikan sedekah itu lebih baik dari menampakkannya, Karena menampakkan itu dapat menimbulkan riya pada diri si pemberi dan dapat pula menyakitkan hati orang yang diberi.
Islam menganjurkan pengikutnya untuk bersedekah dalam berbagai bentuk, diantaranya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah: 263)
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, bahwa perkataan yang baik ini adalah perkataan baik yang dapat membalut luka dihati dan mengisinya dengan kerelaan dan kesenangan. Sedangkan pemberian maaf yang baik adalah yang dapat mencuci dendam dan kebencian didalam jiwa, dan menggantinya dengan persaudaraan dan persahabatan. Jadi perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik dalam kondisi seperti itu akan dapat menunaikan fungsi sedekah, yaitu membersihkan hati dan menjinakkan jiwa.[5]
Ayat diatas menjelaskan bahwa perkataan yang baik dan pemberian maaf yang baik itu merupakan bentuk sedekah, dan keduanya lebih baik dari pada memberi sedekah berupa materi namun diiringi dengan perkataan yang dapat menyinggung ataupun menyakiti perasaan si penerima.
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”(Q.S Al-Baqarah: 276)
Dalam ayat diatas yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya, dan selalu berbuat dosa maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Sedekah terbagi menjadi dua bentuk, yang bersifat tangible atau material atau fisik, dan yang bersifat intangible atau non fisik. Didalam sedekah yang bersifat tangible terdapat dua jenis sedekah diantaranya yang bersifat wajib seperti zakat fitrah maupun maal, dan sedekah yang bersifat sunnah (shadaqah jariyah). Sedangkan yang bersifat intangible meliputi lima macam, [6] yaitu pertama: tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Kedua: berasal dari badan berupa senyum, tenaga untuk bekerja dan membuang duri dari jalan dan lain-lain. Ketiga: menolong atau membantu orang yang kesusahan yang memerlukan bantuan. Keempat menyuruh kepada kebaikan atau yang ma’ruf , sedangkan yang terakhir, menahan diri dari kejahatan atau merusak.[7]
Meskipun sedekah yang tangible bersifat sunnah, namun sedekah mempunyai kemampuan yang dahsyat dibandingkan dengan infak maupun zakat, terlihat dalam surat Al-Munafiqun (63): 10, “Ya Tuhanku, mengapa engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah, dan aku termasuk orang-orang yang shaleh”.
Sedekah dalam konsep Islam mempunyai arti yang luas, tidak hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya materiil kepada orang-orang miskin tetapi sedekah juga mencakup semua perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik. Bentuk-bentuk sedekah dalam ajaran Islam dapat dilihat dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda: “kepada tiap muslim dianjurkan bershadaqah”, para Sahabat bertanya, “Hai Nabi, bagaimana orang-orang yang idak mendapatkan sesuatu yang akan dishadaqahkan?”, Rasulullah SAW menjawab, “hendaklah dia dengan tenaganya hingga memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu dia bershadaqah (dengannya).” Mereka bertanya lagi, “jika dia tidak memperoleh sesuatu?” Rarulullah SWA menjawab lagi, “Hendaklah dia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan shadaqahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).[8]
Rasulullah saw. menjelaskan tentang cakupan sedekah yang begitu luas, sebagai jawaban atas kegundahan hati para sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bersedekah dengan hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya.
Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dibawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, lalu ia menyebutkan hadits ini, dan didalamnya disebutkan, “....Dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya”. (Muttafaq Alaih)[9]
Hadits ini menjelaskan keutamaan merahasiakan sedekah dari pada melakukannya secara terang-terangan, kecuali jika orang tersebut tahu bahwa ketika ia melakukannya secara terang-terangan maka perbuatan tersebut akan menjadi motivasi orang lain untuk mengikutinya, atau ia boleh melakukannya jika mampu menjaga rahasianya dari godaan-godaan riya’.                          
2.      Sedekah menurut Ulama Fiqh
Menurut Yusuf Qardhawi, “Sedekah adalah pemberian sukarela yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, terutama kepada orang-orang miskin, setiap kesempatan terbuka yang tidak ditentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya”.[10] Sedekah sama pengertiannya dengan infaq,  perbedaannya adalah infaq hanya berkaitkan dengan materi sedangkan sedekah memiliki arti luas menyangkut juga hal yang bersifat non materil.
Menurut Ibnu Qoyyim, “Sedekah itu bisa memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk menolak berbagai macam bencana sekalipun pelakunya orang yang fajir (pendosa), zolim, atau bahkan orang kafir, karena Allah akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan shadaqah tersebut.”[11] Karenanya sedekah itu menjadi penting untuk diamalkan. Sedekah dapat menjauhkan diri dari segala musibah dan kemunkaran.
Imam Ghazali mengatakan, bahwa manusia itu terbagi menjadi empat golongan. yakni, (1) manusia yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu; (2) manusia yang tidak tahu tapi tahu bahwa dirinya tidak tahu; (3) manusia yang tahu tapi dirinya tidak tahu bahwa dirinya tahu, dan (4) manusia yang tahu dan tahu bahwa dirinya tahu.” Kalau sudah sampai ke maqam yang keempat, maka ia akan menjadi Muslim yang sangat baik, salah satu tandanya adalah gemar bersedekah.
Para fukaha sepakat bahwa hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa bila ditinggalkan. Sebagaimana dalam kitab Kifayatul Akhyar, berkata Syaikh Abu Syujak: “Shadaqah tatawwu’ hukumnya sunnah, terutama pada bulan Ramadhan lebih dikukuhkan kesunnahannya dan sangat disunnahkan berlapang dada (bermurah hati) dalam bulan Ramadhan itu”.[12]
Demikian pula sedekah disunnahkan ketika menghadapi suatu perkara atau masalah yang penting. Ketika sedang sakit atau sedang berpergian. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan walaupun shadaqah at-tatawwu’ adalah sunnah, akan tetapi shadaqah at-tatawwu’ sangat dianjurkan oleh Allah maupun Rasul-Nya.
 Di samping sunah, ada pula hukum sedekah itu menjadi haram, yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang menerima sedekah akan menggunakan harta sedekah itu untuk kemaksiatan. Kemudian bila seseorang yang bersedekah menyebut-nyebut pemberiannya yang dapat menyakiti hati orang yang menerima sedekah, ataupun bersifat riya’. Seperti yang diungkapkan pada ayat berikut:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya, dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia..…”. (Al-Baqarah: 264)
      Kemudian hukum shadaqah tatawwu’ dapat berubah menjadi wajib, bila seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum shadaqah tatawwu’ juga menjadi wajib jika seseorang bernazar ingin bershadaqah kepada seseorang atau lembaga.

B.      SEDEKAH HARTA
Sedekah harta merupakan pemberian suatu barang yang bernilai   atau pun uang dari seseorang kepada orang lain dengan benar-benar mengharap keridhoan Allah SWT.
  Manusia diciptakan dengan kecenderungan mencintai harta benda. Semua manusia memiliki kecenderungan ini. Allah berfirman:
         “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr: 20) dan “Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta” (Al-‘Adhiyat:8)
Allah-lah yang telah mewahyukan kecintaan ini kepada seluruh manusia untuk hikmah tertentu, yaitu agar Allah menguji manusia. Dengan demikian, tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang beriman yang rajin bersedekah pun, bukan orang-orang yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang yang rajin bersedekah adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi batasnya.
Itulah sesungguhnya yang terjadi pada mereka. Kisah Abu Thalhah diatas menggambar kepada kita bagaimana kondisi hati Abu Thalhah saat ia menyedekahkan hartanya itu. Ia menyadari bahwa harta yang akan ia sedekahkan tersebut adalah harta yang sebetulnya sangat ia cintai. Akan tetapi, karena seruan Allah lebih ingin ia dengarkan dari pada seruan perasaan yang ada dalam hatinya, ia rela berbuat kemuliaan tersebut.
Jadi, para pensedekah itu tetap mencintai hartanya. Namun, kerelaan hatinya lebih besar, imannya lebih kuat, cita-citanya lebih tinggi, kegembiraannya saat orang lain ikut berbahagia lebih menyenangkan baginya dan kedigdayaan agamanya lebih diharapkan olehnya. Ia tidak segan berkorban. Bukan hanya dengan hartanya, jiwanya pun selalu siap ia korbankan untuk meraih kemuliaan itu.
Menurut Imam Ibnul Qoyyim, “Apabila Rasulullah melihat seseorang yang bakhil, beliau mendoakannya agar keadaan berubah, sehingga mau berkorban dan memberi. Barangsiapa yang berinteraksi dengan beliau dan melihat petunjuk beliau, niscaya ia tidak kuasa untuk menolak toleransi dan seruan beliau.”
“Al-Hasan mengatakan: Al Ahnaf pernah melihat seorang laki-laki yang menggenggam uang dirham. Lalu ia bertanya: “Milik siapa itu?”, lelaki itu menjawab: “Milikku”, Al Ahnaf berkata: “Tidak, uang itu bukan milikmu hingga engkau mengeluarkannya untuk mendapatkan pahala atau sebagai rasa syukur”.
            Perkataan tersebut menjelaskan bahwa didalam harta yang kita punya masih terdapat hak orang lain yang membutuhkan, dan akan menjadi milik kita apabila telah dikeluarkan untuk sedekah dan berbagi kepada orang lain.
Adapun hadits lain yang menyebutkan bahwa sedekah yang dikeluarkan merupakan kelebihan dari harta. Dalam hadits ini digambarkan:
Dari Hakim bin Hizam ra. Dari Nabi SAW bersabda, “tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah dari orang-orang yang engkau tanggung, dan sebaik-baik sedekah adalah dari kelebihan harta. Barang siapa menjaga martabatnya maka Allah akan menjaga martabatnya, dan barang siapa yang merasa cukup maka Allah akan mencukupinya”. (Muttafaq Alaih, dengan lafadz Al-Bukhari).[13]
Hadits diatas menunjukkan bahwa dalam bersedekah hendaknya diutamakan orang-orang yang berada didalam tanggungannya sesuai dengan prioritasnya. Ukuran sedekah yang baik adalah jika seseorang mengeluarkan sedekah, dan setelah mengeluarkan sedekah tersebut masih tersisa harta yang cukup untuk menutupi keperluannya. Hal ini disebabkan bila seseorang yang menyedekahkan seluruh hartanya biasanya ia akan menyesal dan berfikir ulang sekiranya tidak menyedekahkan seluruh hartanya saat ia terhimpit dengan kebutuhannya.
      Berkaitan dengan seseorang yang menyedekahkan seluruh hartanya, para ulama berbeda pendapat, Al-Qadhi Iyyadh mengatakan:
“Para ulama dan para imam diberbagai penjuru negeri memperbolehkannya”. Sedangkan menurut Ath-Thabari, “Walaupun hal itu diperbolehkan, namun yang lebih dianjurkan agar tidak melakukannya atau cukup sepertiga dan hartanya”.[14]
Dalam hadits lain disebutkan:
Rasulullah bersabda, “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah sekedar sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat adalah sedekah dan pererat silahturahmi.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Maajah)
Dalam konsep Islam, harta yang dikeluarkan untuk sedekah tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Hal ini digambarkan dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah harta itu berkurang karena sedekah, Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiadalah seseorang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah Yang Maha Mulia Lagi Maha Agung akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).[15]
Sedekah yang dilakukan dalam kondisi hati sangat terpaut dengan harta, dengan faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi kikir, ternyata memiliki nilai tersendiri. Perhatikan sabda Nabi berikut ini:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seraya bertanya, “Wahai Rasulullah! Sedekah seperti apakah yang paling besar pahalanya? Beliau lalu menjawab, “Kamu bersedekah dalam kondisi sehat dan kikir, takut miskin dan mengangankan kekayaan. Jangalah kamu menyepelekan, hingga ketika nyawa sudah berada di kerongkongan, kamu baru mengatakan, “bagi si fulan bagiannya segini dan segitu”, padahal harta tersebut sudah milik orang lain.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
Begitu pun dengan harta benda, harta tidak tercela karena dzatnya Allah dalam Al-Quran justru membahasakannya sebagai “khair”, yang artinya kebaikan. Seperti dalam firman Allah:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan Khairan (harta) yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
Sedekah adalah salah satu manfaat dan kebaikan harta. Banyak jenis ibadah yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan harta. Keterbatasan dalam harta bisa menjadi keterbatasan dalam beribadah. Pada kisah para sahabat yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tadi, dalam riwayat lain dikisahkan, setelah para sahabat mendapat penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang sedekah dengan selain harta, mereka kemudian pulang. Namun tidak lama kemudian, mereka datang lagi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengatakan bahwa orang-orang berharta juga mendengar apa yang kami lakukan dan mereka pun mengamalkannya. Saat itu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam hanya bisa menjawab dengan firman Allah, “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,” (Al-Maidah: 54) (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Walau demikian, manusia harus tetap berhati-hati. Allah sering mengingatkan, bahwa harta adalah fitnah. Daya tarik harta terlalu sering menjerumuskan manusia pada kemaksiatan, sikap takabbur dan prilaku melebihi batas. Sebagaimana dengan sebab harta manusia bisa beribadah, dengan sebab harta pula manusia bisa dengan mudah berbuat kemungkaran. Inilah diantara hikmah mengapa Allah membatasi rizki-Nya kepada sebagian manusia. Agar manusia tidak melakukan perbuatan melampaui batas. Allah berfirman,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 27)
Dengan harta biasanya manusia menjadi orang yang suka bermewah-mewahan. Dan, Allah mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang yang hidup mewahlah yang selalu menjadi penentang para utusan Allah.
Nabi SAW  berpesan kepada orang miskin, agar mereka   tidak menghalangi dirinya dari keutamaan dan pahala sedekah harta. Mereka boleh bersedekah sesuai dengan kemampuannya, meskipun sedikit. Sebab  menyedekahkan harta yang dibutuhkan meski sedikit, jauh lebih baik   dari pada menyedekahkan harta yang tidak dibutuhkan meski banyak. Hal ini dikarenakan motivasi orang tak punya dalam bersedekah harta adalah keimanan, tawakal kepada Allah, serta keyakinan terhadap rezeki dan bantuan Allah.[16] Berbeda dengan orang kaya yang bersedekah dari hartanya yang berlimpah. Artinya yang miskin dan tidak punya harta juga dapat bersedekah.

C. DAKWAH MELALUI BUKU SEBAGAI MEDIA SOSIALISASI
     1. Definisi Dakwah
Dakwah secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u, da’wan, du’a,[17] yang diartikan sebagai mengajak/menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diartikan sama dengan itilah-istilah tabligh, amr ma’ruf, dan nahi munkar, mau’idzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah. Namun dakwah mengandung pengertian yang lebih luas dari istilahistilah tersebut, karena istilah dakwah mengandung makna sebagai aktivitas menyampaikan ajaran Islam, menyuruh berbuat baik, dan mencegah perbuatan munkar, serta memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia.
      Menurut Muhammad Munir, dakwah adalah aktifitas dan upaya untuk mengubah manusia, baik individu maupun masyarakat dari situasi yag tidak baik kepada situasi yang lebih baik.[18]
2. Unsur-unsur Dakwah
     a) Da’i (Pelaku) Dakwah
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat organisasi/lembaga. Secara umum kata da’i sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam), namun sebenarnya sebutan ini konotasi ini sangat sempit, Karena masyarakat cenderung mengartikannya sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan, seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhotbah), dan sebagainya.
Nasarudin Lathief mendefinisikan bahwa da’I adalah muslim dan muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama. Ahli dakwah adalah wa’ad, mubaligh mustama’in (juru penerang) yang menyeru, mengajak, memberi pengajaran, dan pelajaran Agama Islam. [19]
b) Mad’u (Penerima) Dakwah
Mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain manusia keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam, sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman, islam dan ihsan.
c) Maddah (Materi) Dakwah
Maddah Dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada Mad’u. secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat pokok, yaitu:
1.      Masalah Aqidah (Keimanan)
2.      Masalah Syariah
3.      Masalah Muamalah
4.      Masalah Akhlak
d) Wasilah (Media) Dakwah
Wasilah (media) dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyaampaikan materi dakwah /ajaran Islam kepada mad’u. untuk meyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, lukisan, audiovisual, dan akhlak.
e) Thariqah (Metode) Dakwah
      Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, karena suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.
Metode dakwah ada tiga, yaitu: bi al hikmah, mau’izatul hasanah, dan mujadalah billati hiya ahsan.(Q.S An Nahl:125)
f) Atsar (efek) Dakwah
Dalam setiap aktivitas dakwah pasti akan menimbulkan reaksi. Artinya jika dakwah telah dilakukan oleh seorang da’i dengan materi dakwah, wasilah dan thariqah tertentu, maka akan timbul respons dan efek pada mad’u (penerima dakwah).
Atsar sering disebut dengan feedback (umpan balik) dari proses dakwah ini sering dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. kebanyakan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan, maka selesailah dakwah. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah, maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat, maka kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya. Demikian juga strategi dakwah termasuk didalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan.[20]
Salah satu tujuan dakwah adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat baru.[21] Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai proses seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.[22] Artinya sosialisasi merupakan proses mengkomunikasikan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempengaruhi dan mengajak, sehingga memungkinkan orang bersikap dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan.
   Media sosialisasi merupakan sarana dan modal penting dalam melaksanakan peningkatan partisipasi masyarakat. Melalui media sosialisasi masyarakat Indonesia yang religius dapat didorong untuk berlomba dalam beramal shaleh.
   Menurut Haris Munandar, Para peneliti umumnya sependapat bahwa media lebih cenderung memodifikasi dari pada mengubah perilaku. Sebagai contoh, bila sebuah kelompok menentang Tennessee Valley Authority disodori pendapat-pendapat yang mendukung, mereka tidak akan lantas mendukung, melainkan sekedar menurunkan bobot tentangannya.[23] Media bukan saja bisa menjadi pembujuk yang kuat, namun media juga bisa membelokkan perilaku atau sikap-sikap yang ada terhadap suatu hal. Sejumpah pengamat percaya bahwa kekuatan periklanaan begitu kuat karena peran media. Medialah yang mendorong konsumen untuk memilih suatu produk tertentu dengan meninggalkan produk lain untuk berganti merek.[24]
Masalah sosialisasi, tidak luput dari metode-metode yang harus digunakan. Adapun metode-metode sosialisasi tersebut, dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Metode langsung, yaitu bertatap muka antara komunikator dengan  komunikan.
         a) Ceramah
         b) Diskusi
               c) Sarasehan, penyampaian materi secara non formal dan berbincang- bincang.     
              d) Media Percontohan, menerangkan kisah-kisah keberhasilan dengan harapan dijadikan contoh oleh orang lain.
2.   Metode Tidak Langsung,
               a) Media Cetak, suatu informasi atau pengetahuan yang dapat memberikan data secara detail dan mendalam melalui media cetak.
               b)  Buku, sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk penulisan buku, agar cepat mendapat perhatian dan mampu mempengaruhi masyarakat.
              c)  Brosur, majalah, Surat kabar/ Tabloid, Spanduk, Pamflet, Media elektronik, Radio, Internet, Billboard.



C. SOSIALISASI SEDEKAH DI ZAMAN RASUL DAN SAHABAT
Sedekah dalam Islam sangat dianjurkan sebagai wujud jiwa sosial dan agar  terciptanya satu kesatuan dalam kehidupan, khususnya dibidang ekonomi umat Islam. Setiap sedekah yang dikeluarkan balasannya pasti akan kembali kepada diri sendiri. Sekecil apapun harta yang disedekahkan dijalan Allah dengan ikhlas, niscaya akan Allah balas dengan berlipat ganda, dan terkadang dari arah yang tidak disangka-sangka. Ketika kita menolong seseorang, mungkin orang tersebut tidak bisa membalas kebaikan kita, akan tetapi Allah pasti menggerakkan tangan-tangan yang lain untuk membalas kebaikan yang telah kita lakukan tersebut.
Hal inilah salah satu alasan Rasulullah saw memerintahkan para sahabat yang sedang bersiap menuju Perang Tabuk untuk mengeluarkan sedekah. Ketika itu, kepada Rasulullah turun ayat tentang sedekah. ”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[25]
Seruan Rasulullah saw. Itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin ’Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham miliknya seraya berkata, ”Ya Rasulullah, harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan dijalan Allah”. ”Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan,” jawab Rasulullah saw.
Kemudian datang sahabat lainnya, Utsman bin Affan. ”Wahai Rasulullah, saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya,” ujarnya. Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham pada waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.
Para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan untuk bersedekah, karena mereka yakin bahwa akan ada balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala, dan pelipat ganda rezeki; seperti sebulir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh kali lipat.
Rasulullah menggambarkan sedekah dalam hadits dibawah ini:
Rasulullah SAW bersabda: “kepada tiap muslim dianjurkan bershadaqah”, para Sahabat bertanya, “Hai Nabi, bagaimana orang-orang yang tidak mendapatkan sesuatu yang akan dishadaqahkan?”, Rasulullah SAW menjawab,  “hendaklah dia dengan tenaganya hingga memperoleh keuntungan bagi dirinya lalu dia bershadaqah (dengannya).” Mereka bertanya lagi, “jika dia tidak memperoleh sesuatu?” Rarulullah SWA menjawab lagi, “Hendaklah dia melakukan kebaikan dan menahan diri dari kejahatan, karena hal itu merupakan shadaqahnya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).[26]
Dalam hadits lain dikatakan:
Dari Abu Dzar rodhiallohu‘anhu dia berkata: Ada sekelompok sahabat Rasulullah melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada sedekah, pada setiap tahmid ada  sedekah, dan pada setiap tahlil ada sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)[27]
Dari kedua hadits diatas menyatakan bahwa sedekah tidak hanya terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya materiil kepada orang-orang miskin tetapi sedekah juga mencakup semua perbuatan kebaikan, baik bersifat fisik maupun non fisik.  Sedekah yang paling utama adalah memberikan kepada yang paling membutuhkan, yaitu 8 ashnaf.
Rasulullah sukses membangun masyarakat Muslim yang sejahtera, adil dan makmur di atas landasan kasih sayang, antara lain sedekah. Sedekah itu mempunyai artinya sangat luas, tidak hanya berupa mengeluarkan harta benda untuk orang-orang dhuafa. Mengusap kepala anak yatim juga termasuk sedekah. Membantu orang-orang tua yang kesulitan melangkah atau membawa sesuatu juga termasuk sedekah. Bahkan, menyingkirkan duri dari jalan juga termasuk sedekah.
Rasulullah memberikan contoh melalui perbuatan dan perkataannya. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim:
“Apabila beliau melihat seseorang yang bakhil, beliau mendoakannya agar keadaan berubah, sehingga mau berkorban dan memberi. Barangsiapa yang berinteraksi dengan beliau dan melihat petunjuk beliau, niscaya ia tidak kuasa untuk menolak toleransi dan seruan beliau.”
“Al-Hasan mengatakan: Al Ahnaf pernah melihat seorang laki-laki yang menggenggam uang dirham. Lalu ia bertanya: “Milik siapa itu?”, lelaki itu menjawab: “Milikku”, Al Ahnaf berkata: “Tidak, uang itu bukan milikmu hingga engkau mengeluarkannya untuk mendapatkan pahala atau sebagai rasa syukur”.
Perkataan tersebut menjelaskan bahwa didalam harta yang kita punya masih terdapat hak orang lain yang membutuhkan, dan akan menjadi milik kita apabila telah dikeluarkan untuk sedekah dan berbagi kepada orang lain.
Pada zaman Rasulullah dan Sahabat, sedekah tidak dikordinir seperti halnya zakat. Sedekah diberikan secara langsung kepada orang yang membutuhkan tanpa melalui Baitul Mal ataupun lembaga sedekah. Berdasarkan literatur hadits bahwa Rasulullah bersedekah dengan berbagai cara, dan mensosialisasikannya melalui perkataan dan perbuatan beliau saat itu.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Islam telah memberikan contoh bagaimana kesigapan Negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khattab pada suatu malam pernah melakukan inspeksi keperkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar. Ternyata anak itu menangis karena lapar, sedangkan orangtuanya tidak lagi memiliki bahan makanan.
Sang ibu mencoba menghibur anaknya dengan berpura-pura menanak makanan padahal yang dimasak adalah batu. Si ibu berharap anaknya tertidur sambil menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahi kondisiyang terjad, khalifah Umar pun bergegas mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah salah satu tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.[28]



[1] Yusuf mansur, Allah Maha Pelindung, Maka Engkau Gampang Siasati Krisis, (Bandung:PT Karya Kita, 2008), h. 23.
                [2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 214.
                [3] Didin Hafiduddin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq dan Sedekah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. 1, h. 15.
[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 360.
[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, h. 362.
                [6] Achmad Subiyanto, Shadaqah, Infak dan Zakat sebagai instrumen untuk membangun Indonesia yang bersih dan benar, (Jakarta: Yayasan Bermula dari Kanan, 2004) h. 27.
[7] Badiatul Razikin, Menjadi Kaya Dengan Shadaqah, h. 107.
[8] Elsbeth Bauer, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), h. 5.
[9] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2, (Jakarta: Darus Sunnah Press, cet. ke-2, 2008), h. 70.
(ﺼﺣﻳﺢ) Hadits ini adalah shahih terdapat dalam kitab riwayat Al-Bukhari (1423) dan Muslim (1031)
[10] Kholid bin Sulaiman, Shodaqoh memang Ajaib, (Jakarta: Daarul Qoosim, cet.1, 2006), h. 56.
[11] Kholid bin Sulaiman, Shodaqoh memang Ajaib, h. 57.
[12] Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini, Kifayatul Akhyar Fii Ghayatil Ikhtishar, diterjemahkan oleh Syarifuddin Anwar, K.H, (Surabaya: CV. Bina Iman, 1995), Cet.II, h. 455.
[13] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2, h. 74.
(ﺼﺣﻳﺢ) Hadits ini adalah shahih terdapat dalam kitab riwayat Al-Bukhari (1427) dan Muslim (1034)

[14] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shar’ani, As-Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh M. Isnan, Ali Fauzan dan Darwis, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram Jilid 2, h. 74.
[15] Ahmad Sangid, Dahsyatnya Sedekah, (Jakarta: QultumMedia, 2008), h. 40.
[16] Wajih Mahmud, Siapa Bilang Besedekah Harus Kaya?, (Jakarta: PT. Hikmah, 2007), h. 40.
[17] Majma al-Lughah al-‘Arabiyah, 1972: 286
[18] Muhammad Munir, Manajemen Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 21.
[19] Nasaruddin Lathief, Teori dan Praktik Dakwah Ilmiah, (Jakarta:PT Firma Dara), h. 11.
[20] Muhammad Munir, Manajemen Dakwah, h. 34
[21] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Edisi Baru), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), cet. Ke-3, h. 408
[22] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: FEUI, 2000), ed.2, h. 23.
[23] Haris Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Jakarta: Prenanda Media, 2004), cet.ke-2, h. 255.
[24] Haris Munandar dan Dudy Priatna, Media Massa dan Masyarakat Modern,h. 256.
[25] Al Qur’an dan terjemahannya, Lihat Q.S. Al-Baqarah(2): 261
[26] Elsbeth Bauer, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), h. 5.
[27] Elsbeth Bauer, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, h. 5.
[28] Yusuf Mansur, Allah Maha Pelindung: Maka Engkau Gampang Siasati Krisis, h. 11.

2 komentar:

Abdullah Cilebok mengatakan...

Partisipasi dan amal jariyah dalam perluasan dan pembangunan masjidil
haram dan masjid Nabawi

1. Niat Ibadah ( dari Allah,Karena Allah dan untuk Allah)
2. Membawa beberapa batu kerikil kecil yang Haq dari tanah air
3. Point no 2 dapat dibawa sendiri/ dititipkan kepada Jamaah yang akan
berangkat Umroh dan Haji
4. Batu kerikil diletakkan diarea yg sedang dibangun/di Cor semen
5. Atau dititipkan kepada pekerja pembangunan agar diletakkan ditempat
tersebut
6. Mudah-mudahan Allah Ridho dengan apa yang kita kerjakan

* Umumnya waqaf qur'an
* Tidak ada kotak amal di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
* Mungkin Batu kerikil tidak berarti untuk sebagian orang,akan tetapi
jika diletakkan di kedua Masjid tersebut,paling tidak batu kerikil ini
akan menjadi bagian terkecil dari bangunan tersebut.
* Moment Perluasan dan Pembangunan Masjidil haram dan Masjid Nabawi

siti jm mengatakan...

083876762887
Bagaimana dengan yang dgn yang satu ini.
ass.wr.wb .
Hal : Permohonan Batuan Sukarela ( ke iklasan )
lampiran : 1 ( satu )
Sebelumnya kami mohon maaf , bila kami salah menempatkan . Sebetulnya kami tidak ingin ikut* an di tempat publik seperti ini . Kami terus terang sangat malu sekali .
Tapi berhubung kami sangat terpaksa kita nyampaikan apa adanya .Kalau kami benar adanya korban phk. Berhubung kami sudah cukup umur 48 th nan lebih secara otomatis .Untuk mencari pekerjaan lagi sangat sulit. Untuk mencukupi kebutuhan hidup kami terus terang hanya berjualan makan . Ke untungan bisa di lihat dan di takar kalau itu laku dagangannya .Jika tidak yg ada tekor atau rugi .
Kami masih ada tanggungan 3anak lg yg harus di cukupi kebutuhan sekolah dan harian nya. Untuk kebutuhan yg sangat tinggi sangat sulit jika ke 3 anak * kami harus sekolah tinggi , dengan pendapatan hasil usaha yg terkadang rugi dan modal kadang di makan untuk kebutuhan .
sehingga kami sangat sulit untuk berdagang selanjutnya . karena seringnya dagangan tidak menguntungkan . Kami jadi banyak hutang .
Andai di perkenankan di tempat ini dan jika ada yg ingin membantu kami tanpa pamrih , iklas lilahita ala . Khususnya kepada para pembaca atau donatur , dermawan , yg ingin menyumbangkan dana atau uang . kami mengucapkan banyak terima kasih . Semoga Allah saw melimpahkan rezeki yg berlimpah . Dan Allah yg akan membalasnya .
Andai para pembaca atau demawan yg tdk percaya pada kami itu hak nya mereka .
Sebab Allah saw jika kita tidak minta dan tidak mengucap kami di anggap sombong padahal benar kami sedang dalam kesulitan dan keterpurukan .
Untuk lebih memudahkan dalam sedekah atau membantu kami silahkan para dermawan , donatur, pembaca mengisi seiklasnya di nomer rek bca 2861924833 atas nama siti jamilah .
Untuk saat jni kami dalam kesulitan / terpuruk . Kami mohon dengan kesadarannya menolong kami .Besar atau kecil yg penting iklas dan redo .Sehingga bermanfaat untuk kami . Sebelum dan sesudah kami beserta keluarga mengucapkan .Terima kasih.
Semoga Allah saw membalasnya . Wassalam
salam dari ibu siti jamilah.

Komentar

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com