Miskinpun di HARAM-kan Sakit
Ngenes. Sedih. Bingung. Marah. Kecewa. Mungkin itu kata -
kata yang tepat buat ngegambarin perasaan saya ke pemerintah Indonesia saat
ini. Bagaimana tidak? Beberapa waktu yang lalu acara televisi menayangkan
berita tentang seorang ibu yang terpaksa harus melahirkan di becak gara - gara
pihak rumah sakit menolak beliau lantaran beliau berasal dari keluarga tidak
mampu sehingga mereka tidak memiliki biaya untuk membayar biaya administrasi.
Ditolak rumah sakit lantaran berasal dari keluarga tidak
mampu. Menomorsatukan uang ketimbang nyawa orang. Jadi, rakyat kurang
mampu tidak boleh mendapat fasilitas yang layak ketika sakit? Hanya
orang berduit sepertinya yang bisa merasakan fasilitas wah ketika sakit.
Ke mana pemerintah kita? Di mana hati nurani pemerintah kita? Sampai kapan
pemerintah berdiam diri melihat situasi seperti ini? Bukankah itu sudah
seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya?
Sungguh, amat menggelikan negeri ini.
Pemerintah pasti akan berdalih bahwa mereka sudah
menerbitkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Namun SKTM tersebut seringkali
terlambat dicairkan sehingga si miskin keburu meninggal, atau jika tidak
birokrasi yang rumit sehingga membuat masyarakat
putus asa dan nyawanyapun tidak tertolong lagi. Orang miskin kembali tidak tertolong dengan program ini.
putus asa dan nyawanyapun tidak tertolong lagi. Orang miskin kembali tidak tertolong dengan program ini.
Mungkin sebuah kebetulan saja bahwa bentuk jama’ (banyak
dalam bahasa Arab) kata “miskin” adalah “masa kini” seolah menggambarkan
kondisi Indonesia sekarang yang di
dalamnya banyak ditemui orang miskin. Semua itu diperparah oleh perilaku sebagian aghniya’ (pemilik harta dan modal), ‘umara (pengambil kebijakan/pemerintah), atau bahkan ‘ulama (para tokoh agama) yang tidak punya kepedulian atas nasib yang diderita sebagian besar masyarakat.
dalamnya banyak ditemui orang miskin. Semua itu diperparah oleh perilaku sebagian aghniya’ (pemilik harta dan modal), ‘umara (pengambil kebijakan/pemerintah), atau bahkan ‘ulama (para tokoh agama) yang tidak punya kepedulian atas nasib yang diderita sebagian besar masyarakat.
Keseriusan, kecerdasan, dan kerjasama antar umat beragama
dalam mengentaskan kemiskinan sesungguhnya telah diwasiatkan oleh kitab suci
Al-Quran dimana semua potensi yang dikaruniakan Allah harus dipergunakan untuk
mendaki jalan yang terjal (al-‘aqabah) dalam konteks tigal hal.
Pertama, melepaskan manusia dari belenggu perbudakan
dan kezaliman yang pada zaman modern intensitasnya kian mengerikan. Kedua, memberikan makanan, baik ruhani maupun jasmani di saat “kelaparan” sudah sangat merajalela seperti kondisi tanah air sekarang. Ketiga, memberikan perhatian pada “anak yatim” yakni mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu serta tidak ada yang mengajari
tentang etika dan teladan kehidupan. Juga menolong orang miskin yang dekat dalam jangkauan penglihatan.
dan kezaliman yang pada zaman modern intensitasnya kian mengerikan. Kedua, memberikan makanan, baik ruhani maupun jasmani di saat “kelaparan” sudah sangat merajalela seperti kondisi tanah air sekarang. Ketiga, memberikan perhatian pada “anak yatim” yakni mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan ilmu serta tidak ada yang mengajari
tentang etika dan teladan kehidupan. Juga menolong orang miskin yang dekat dalam jangkauan penglihatan.
Bila prioritas umat beragama dalam menjawab problem
kemiskinan telah terwujud dalam komitmen, sistem, serta misi dan visi yang
jelas tanpa membeda-bedakan golongan, maka rahmat Allah selalu akan menyinari
kehidupan. Tetapi bila sebaliknya, maka hanya azab
serta kehinaan yang akan kita peroleh.
serta kehinaan yang akan kita peroleh.
Hal menarik yang bisa dijadikan kajian dari fenomena di atas
adalah sampai sejauh mana penghayatan masyarakat
(khususnya para tokohnya) terhadap etika keagamaan berkaitan
terjadinya ketidakadilan sosial dan proses pemiskinan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah ada-tidaknya korelasi antara “kesalehan ritual” dengan “kesalehan sosial” yang dapat
menggerakkan kehidupan ekonomi kerakyatan. Atau adakah sebuah etos dalam nilai agama yang akan menggairahkan partisipasi aktif penganutnya dalam menghadapi problema kemiskinan (atau
pemiskinan)?
terjadinya ketidakadilan sosial dan proses pemiskinan. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah ada-tidaknya korelasi antara “kesalehan ritual” dengan “kesalehan sosial” yang dapat
menggerakkan kehidupan ekonomi kerakyatan. Atau adakah sebuah etos dalam nilai agama yang akan menggairahkan partisipasi aktif penganutnya dalam menghadapi problema kemiskinan (atau
pemiskinan)?
Pertanyan-pertanyaan
di atas perlu dilontarkan karena masyarakat sering terjebak pada pola keagamaan
yang bersifat simbolik, tetapi menanggalkan
nilai-nilai substantif (mendasar) agama. Padahal, agama
menekankan pembebasan kemanusiaan dari berbagai belenggu pemiskinan dan
penindasan. Para Nabi pembawa risalah agama yang diturunkan ke dunia, kita
tahu, selalu berwatak revolusioner untuk mengubah struktur yang tidak adil,
timpang, dan menindas.
Lebih dari itu, beberapa doktrin keagamaan menunjukkan
betapa agama sangat
mendorong produktivitas umatnya. Pendekatan (taqarrub) kepada Allah untuk menggapai keridhaan-Nya harus dicapai seorang Muslim dengan kerja keras yang berlandaskan tanggung jawab tauhid dan penuh keikhlasan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Quran surah
Al-Insyiqâq ayat 6 yang berbunyi, “Hai manusia, engkau telah berbuat sekuat tenaga untuk dekat dengan Tuhanmu, dan kamu berhasil.” Persoalan lalu muncul saat lembaga keagamaan formal hanya berpijak pada aspek legal formal keagamaan dan kenegaraan serta mengabaikan realitas masyarakat yang mengalami penindasan dan penzaliman dari para penguasa (yang punya kekuasaan apa saja).
mendorong produktivitas umatnya. Pendekatan (taqarrub) kepada Allah untuk menggapai keridhaan-Nya harus dicapai seorang Muslim dengan kerja keras yang berlandaskan tanggung jawab tauhid dan penuh keikhlasan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Quran surah
Al-Insyiqâq ayat 6 yang berbunyi, “Hai manusia, engkau telah berbuat sekuat tenaga untuk dekat dengan Tuhanmu, dan kamu berhasil.” Persoalan lalu muncul saat lembaga keagamaan formal hanya berpijak pada aspek legal formal keagamaan dan kenegaraan serta mengabaikan realitas masyarakat yang mengalami penindasan dan penzaliman dari para penguasa (yang punya kekuasaan apa saja).
Hal itu kian diperparah dengan “kebisuan” pihak-pihak yang otoritasnya
tak terbantahkan menyangkut realitas yang semakin membuat masyarakat terjebak
dalam lingkaran setan kemiskinan.
0 komentar:
Posting Komentar