A. Pengertian Sosiologi
Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang Ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte. Comte kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. sebagai sebuah ilmu, Sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.
B. Perkembangan Ilmu Sosiologi
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.Tiga tahapan itu adalah :
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara Sosiologi statis dan Sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Comte kemudian membedakan antara Sosiologi statis dan Sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang Sosiologi. Mereka antara lain Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
• Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
• Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
• Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
• Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
C. Beberapa Defenisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi Sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
• Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
• Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
• William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
• J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
• Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
• Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
• Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
• Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
• William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
• Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.
D. Pokok bahasan Sosiologi
1. Fakta social
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
2. Tindakan social
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
3. Khayalan Sosiologis
Khayalan Sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan Sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan Sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
4. Realitas social
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normative
E. Subdisiplin Sosiologi
Sosiologi sebagai ilmu sosial semula ajaran filosofi yang berorientasi Helenisme/ Yunani kemudian dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857) menjadi ilmu Sosiologi sociologie, sociology merupakan ilmu pengetahuan yang tugasnya mempelajari pelbagai persekutuan hidup, pranata/ institusi sosial, hubungan antaranggota dan antarkelompok masyarakat, beserta tenaga/kekuatan yang menimbulkan perubahan masyarakat. Pada intinya mengkaji makhluk sosial dalam peri kehidupannya.
Pertumbuhan pesat telah menghasilkan sub-subdisiplin Sosiologi hukum, Sosiologi ilmu, Sosiologi bahasa yang kerap disebut sosiolingustik, Sosiologi perkotaan ‘urban sociology’, Sosiologi pedesaan rural sociology dan akhirnya Sosiologi sastra yang termuda.
Dari sekian objek telaahnya mengenai masalah kemasyarakatan adalah (1) masalah perburuhan/ ketenagakerjaan yang bersangkut-paut dengan faktor sumber daya manusia ‘human resources’ dan (b) masalah human relation demi tercapainya hubungan yang harmonis, kerukunan, ketertiban. Visi itulah yang sedang digagas dalam masyarakat modern
Dari sekian objek telaahnya mengenai masalah kemasyarakatan adalah (1) masalah perburuhan/ ketenagakerjaan yang bersangkut-paut dengan faktor sumber daya manusia ‘human resources’ dan (b) masalah human relation demi tercapainya hubungan yang harmonis, kerukunan, ketertiban. Visi itulah yang sedang digagas dalam masyarakat modern
F. Agama Sebagai Fenomena Sosial
Optimalisasi pendayagunaan ZIS (zakat, infak, dan sadaqah). Contoh ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha mendorong masyarakat miskin/masyarakat prasejahtera menjadi masyarakat sejahtera. Di Jawa Barat, juga di provinsi lain di Indonesia, masyarakat miskin pada umumnya adalah penduduk daerah pedesaan. Namun demikian, di daerah perkotaan pun dewasa ini sering ditemukan lokasi atau wilayah dengan kelompok masyarakat miskin ditemukan. Persoalan anak jalanan, tuna wisma, dan fenomena Sosiologis lainnya, telah menjadi bagian potret masyarakat perkotaan. Hal ini berarti, persoalan kemiskinan masyarakat telah menjadi persoalan regional, bahkan nasional karena sebarannya tampak merata, mulai dari pedesaan hingga perkotaan.
Misalkan jika jumlah penduduk di Jawa Barat tahun ini diperkirakan sekitar 50 juta jiwa, sementara dilaporkan bahwa hingga tahun 1990 jumlah penduduk miskin di provinsi ini adalah 4.786.478 jiwa dan dengan adalnya krismon jumlah ini dipastikan bertambah, diperkirakan lebih dari 10 % penduduk Jawa Barat hidup dalam keadaan miskin. Sementara dari jumlah tersebut juga dilaporkan bahwa 98 %-nya adalah beragama Islam sehingga persoalan kemiskinan di Jawa Barat ini adalah persoalan ummat Islam.
Islam, dengan ajarannya yang universal, telah menawarkan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Zakat, infak, sadaqah, dan term-term sosioreligius lainnya adalah wujud solusi tersebut, yang dipadukan dengan semangat-semangat keagamaan lainnya secara historis telah berhasil mengubah kehidupan masyarakat Arab pada masa awal Islam yang pada umumnya mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Jika semangat religiohistoris tersebut ditarik ke dalam kehidupan masa kini, tidaklah mustahil, zakat, infak, dan sadaqah itu akan menjadi problem solver yang efektif.
Dengan asumsi bahwa validitas laporan angka-angka tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka terdapat tiga puluh juta jiwa lebih muzakki-fitrah per tahun dan dengan perhitungan satu kepala keluarga sama dengan lima jiwa, maka terdapat enam juta keluarga muzakki nonfitrah. Jika ditambah dengan infak, sadaqah, dan aksi-aksi religio-expenditure lainnya, potensi agama sebagai problem solver semakin tampak terlihat. Untuk zakat fitrah saja, perkiraan angka yang bisa diperoleh adalah (misalnya) 30.000.000 jiwa x Rp 6000,00 = Rp 180.000.000.000,00. Persoalannya sekarang, di samping mekanisme pengumpulannya yang terletak pada upaya optimalisasi pengelolaannya, langkah awalnya adalah memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi sumber-sumber zakat, infak, dan sadaqah tersebut.
Seperti halnya dengan zakat bagi orang yang mampu, maka melaksanakannya menjadi tolok ukur dari ketaatannya terhadap agama, dikala Ia tidak melaksanakannya, maka hakikatnya, Ia telah menyia-nyiakan agama. Sholat sebagai refleksi dari kesolehan agama, sedang zakat adalah refleksi kesolehan sosial sebagaimana interpretasi refleksi akan substansi Agama di turunkan oleh Allah ke dunia. Masdar F Mas’udi mengatakan bahwa penggandengan kedua perintah itu mengandung makna yang sangat dalam. Perintah sholat, dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman jati diri Manusia sebagai hamba Allah (Abdullah) pada dimensi Spiritualitasnya yang bersifat personal. Sedang perintah Zakat, dimaksudkan untuk mengaktualisasikan jati diri Manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait pada realitas sosial sebagai khalifatullah. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Yang pertama, merupakan sisi pencarian personal yang subyektif dan transenden terkait dengan Tuhan sebagai obyek pencarian. Sedang yang kedua, sisi keislaman yang terkait dengan Tuhan sebagai obyek cita pencarian sosial yang obyektif dan Immanen. Zakat sebagai perintah yang selalu di gandengkan dan dikaitkan dengan sholat tidak meragukan lagi bagi kita untuk mengatakan bahwa zakat itu sesuatu yang penting (urgent) dalam kehidupan ini. Dimana (pelaksanaan) sholat tidak bisa di tinggalkan dalam keadaan apapun, maka zakat pun demikian bagi yang kena kewajiban (Muzakki). Penggandengan perintah tersebut menggambarkan bahwa hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, tidak boleh di abaikan, kedua ibadah shalat dan zakat adalah turut sebagai penentu arah kehidupan manusia, sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Karena, Perintah Zakat di latar belakangi dengan realitas pendapatan (rizki) masyarakat, adanya Kesenjangan rezeki dan mata pencaharian bisa jadi hal itu memang menjadi dasar akan Zakat. Realitas pendapatan yang sering terjadi perbedaan dan kesenjangan di antara Masyarakat itu bukan hanya tinjauan sosial tapi dalam segi tinjauan teologis normatif juga di tegaskan oleh Allah SWT bahwa memang rezeki yang di berikan terhadap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda, ada yang di lebihkan dan ada yang di kurangkan. Terlepas bahwa perintah zakat itu sebuah keharusan (perintah wajib) yang menyimpan daya paksa dan sanksi seperti yang pernah di terapkan oleh Khalifah Abu Bakar atas landasan interpretasi yuridis (fiqh) firman Allah (al-Qur’an). Namun, perlu kita lihat bahwa, Pendapatan yang berbeda, berimplikasi terhadap pranata sosial masyarakat yang berimbas terhadap nilai sosial yang tinggi atau rendah.
Kesenjangan sosial yang terbentuk akibat adanya perbedaan penghasilan baik karena faktor (nasib) untung atau karena kesempatan atau karena (punya) modal, menjadi faktor utama dalam membentuk paradigma tersebut. Perbedaan tingkat sosial sehingga menjadi pranata yang kian hari makin nampak dan menjadi doktrin yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Akhirnya ada lapisan Masyarakat bawah masyarakat menegah dan atas. Implikasi dari stratak sosial tersebut tidak hanya pada dataran moral tapi juga berimplikasi secara sosiologis-psikologis. Implikasi sosiologis, yang kaya merasa lebih dari yang miskin, sedang secara Psikologis hal itu menjadikan yang miskin merasa mender dari yang kaya. Bias dari realiatas seperti itu, pada dimensi sosiologis, apabila hal itu di biarkan akan berdampak pada persoalan yang lebih mendasar dan membahayakan.
Karena, Secara tidak sadar Kesenjangan itu dianggap suatu ketidak adilan yang dibuat oleh Manusia (yang kaya), sehingga berpotensi terhadap konflik horisontal. Kita bisa melihat berbagai peristiwa kerusuhan walau obyektifitasnya perlu di pertanyakan, tetapi faktor ekonomi yang tidak merata dan penuh ketimpangan dan ketikadilan menjadi pemicu kesenjangan yang akhirnya berubah menjadi kecemburuan sosial yang kemudian tidak menutup kemungkinan terjadi anarkhisme. Kesenjangan itu akibat dari distribusi yang tidak merata dan kebijakan yang salah. Secara psikologis keadaan seperti itu, berimplikasi terhadap perkembangan prilaku masyarakat yang kaya dan yang miskin kian hari menjadi pembatas akan kehidupan dan kultur yang cendrung berbeda. Dengan persoalan itu menjadi suatu yang mesti, apabila zakat sebagai sistem Ekonomi yang dasar (Asasi) dalam Islam, menjadi suatu keharusan dalam pelaksanaanya, dan menjadi alternatif sistem ekonomi dunia.
0 komentar:
Posting Komentar