Agama dan Modernitas
Kemoderenan selalu identik dengan kehidupan keserbadaan. Sedangkan modernisasi merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi selalu diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya manusia menjadi mampu menguasai alam dengan memanfaatkan teknologi modern. Masih banyak lagi pengertian modernisasi, namun intinya menurut Lerner, modernisai itu mencangkup : 1) pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan, 2) partisipasi politik, 3) penyebaran norma-norma, 4) tingginya tingkat mobilitas social dan geografis, 5) Transformasi kepribadian.modernitas tersebut menurut Hardgrave gejalanya apat dilihat dalam tiga dimensi: teknologis, organisasional dan sikap. Aspek teknologinya bisa dilacak pada dominasi industrialisasi sehingga masyarakat dapat dibedakan menjadi praindustri dan industri. Sedangkan dimensi organisasional mengejawantah dalam tingkat diferensiasi dan spesialisasi serta menjelma menjadi masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks. Di pihak lain pihak segi sikap dalam kemeoderenan mencangkup rasionalitas dan sekularisasi dan pertentangan cara pandang ilmiah lawan magis –religius.Dari pandangan terakhir diatas jelas betapa marginal kedudukan agama dalam madyarakat industri modern.
Ada dua corak agama yang memiliki cara yang berbeda dalam merespon tuntutan perkembangan masyarakat, yaitu agama-agama wahyu – yang relative bisa bertahan menghadapi arus gelombang modernisasi seperti Islam, Yahudi dan Kristen juga agama-agama wahyu lain, yang begitu rentan terhadap amukan modernisasi sehingga tidak mampu bertahan.Semua agama mempunyai klaim yang sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam rentangan waktu yang tidak terbatas. Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu: doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin. Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh masyarakat pendukungnya. Karena itu agama yang mempunyai tingkat kecanggihan abstraksi yang rendah biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya.Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mahden Ilmuan social Amerika, yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar sejak abad ke-19 seperti dapat dilacak pada pemikiran Comte, Spenser, Marx dan lain-lain.Agama yang mengutamakan kepercayaan akan yang Maha Ghaib, kebersamaan dan berorientasi kepada hidup sesudah mati sangat sulit untuk bisa diterima oleh pemikiran positivistik dan sekularistik, sehingga agama terdepak dari segala aspek kehidupan.Pada sisi lain, krisis peradaban modern, meminjam istilah J.A Camilleri, juga menimbulkan keberantakan yang gejalanya dapat dilihat dalam ketidak seimbangan psiko-sosial, structural, sistematis dan ekologis.Dari dampak yang telah dikemukakan diatas, terlihat jelas peran agama menjadi sangat marginal, karena agama dianggap tidak dapat memberi kontribusi apapun dalam menghadapi tuntutan hidup yang begitu keras dan penuh persaingan. Gejala kemerosotan agama tampak dalam melemahnya doktrin-doktrin yang ada, organisasi agama tidak mampu mengikuti irama dan ritme perubahan social, ritual agama makin sedikit peminatnya, dan pemimpin agama juga menampakkan diri seperti kurang semangat karena tidak berdaya berpacu dengan arus tuntutan hidup budaya materialistic-individualistik, bahkan sangat hedonistik, hal tersebut nampaknya juga merupakan suatu gejala sosial pemimpin agama dewasa ini, dimana sebagian diantara mereka memahami agama secara dangkal, hingga akhirnya “membodohkan umat”.
Ada dua corak agama yang memiliki cara yang berbeda dalam merespon tuntutan perkembangan masyarakat, yaitu agama-agama wahyu – yang relative bisa bertahan menghadapi arus gelombang modernisasi seperti Islam, Yahudi dan Kristen juga agama-agama wahyu lain, yang begitu rentan terhadap amukan modernisasi sehingga tidak mampu bertahan.Semua agama mempunyai klaim yang sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam rentangan waktu yang tidak terbatas. Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu: doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin. Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh masyarakat pendukungnya. Karena itu agama yang mempunyai tingkat kecanggihan abstraksi yang rendah biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya.Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mahden Ilmuan social Amerika, yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar sejak abad ke-19 seperti dapat dilacak pada pemikiran Comte, Spenser, Marx dan lain-lain.Agama yang mengutamakan kepercayaan akan yang Maha Ghaib, kebersamaan dan berorientasi kepada hidup sesudah mati sangat sulit untuk bisa diterima oleh pemikiran positivistik dan sekularistik, sehingga agama terdepak dari segala aspek kehidupan.Pada sisi lain, krisis peradaban modern, meminjam istilah J.A Camilleri, juga menimbulkan keberantakan yang gejalanya dapat dilihat dalam ketidak seimbangan psiko-sosial, structural, sistematis dan ekologis.Dari dampak yang telah dikemukakan diatas, terlihat jelas peran agama menjadi sangat marginal, karena agama dianggap tidak dapat memberi kontribusi apapun dalam menghadapi tuntutan hidup yang begitu keras dan penuh persaingan. Gejala kemerosotan agama tampak dalam melemahnya doktrin-doktrin yang ada, organisasi agama tidak mampu mengikuti irama dan ritme perubahan social, ritual agama makin sedikit peminatnya, dan pemimpin agama juga menampakkan diri seperti kurang semangat karena tidak berdaya berpacu dengan arus tuntutan hidup budaya materialistic-individualistik, bahkan sangat hedonistik, hal tersebut nampaknya juga merupakan suatu gejala sosial pemimpin agama dewasa ini, dimana sebagian diantara mereka memahami agama secara dangkal, hingga akhirnya “membodohkan umat”.
Agama di lain pihak, dipandang tidak mampu melerai konflik-konflik maupun dis-organisasi sosial bahkan dituding sebagai bermasa bodoh “cuek” terhadap malapetaka kemanusiaan universal.
Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi, agamalah yang diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku serakah, brutal, dan mengancam kelangsungan hidup serta mengabaikan sama sekali spiritualitas dan transendentalisme untuk diarahkan kepada kehidupan yang bertatanan ketuhanan, kemanusiaan dan transcendental dalam menuju dunia yang damai dan berperadaban. Disinilah letak peran penting pemimpin agama, untuk dapat menginterpretasi agama, dari berbagai sudut pandang, rasional, universal dan mengejawantah “membumi” sesuai dengan kebutuhan umat dan zaman, hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini.
Kesimpulan
Upaya preventif, dan menjadi salah satu problem tersulit untuk dihadapi, namun harus menjadi komitmen bersama pemuka agama, adalah mencegah kemerosotan peran agama di tengah era modern ini. Bila ditelaah dari aspek internal upaya pencegahan tergantung pada performance empat isi agama.Pertama, segi doktrin agama, tuntutannya adalah mengupayakan agar ajaran-ajaran agama menjadi kontekstual. Tugas ini tidak gampang. Konservatisme dan ortodoksi pemeluk agama tidak mudah dibelokkan kearah kontekstualisasi. Pola pembelajaran agama (baca: Islam) khususnya, masih terasa kurang diarahkan kepada pembumisasian Qur’an atau membangun “budaya qur’ani”, sebab beberapa fakta dimasyarakat menunjukkan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan aturan hidup muslim, dikenal, dipahami, masih sebatas pada aspek “tahu” (ranah kognitif) atau sebatas ranah ”knowing The Good”, al-Qur’an sebagai landasan hidup, di masyarakat pada umumnya baru sebatas level“hafalan”, artinya tugas bersama umat muslim tanpa terkecuali, untuk bersama memahami (kognitif) secara komprehensif, universal tidak parsial, bukan hanya sebatas pemahaman literal, tetapi lebih dari itu memahami secara radikal apa maksud dari suatu ayat, selanjutnya, pembelajaran al-Qur’an harus menyentuh aspek afektif (dirasakan dan dicintai) ”Loving The Good”, terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dalam semua aspek kehidupan (aspek psikomotorik), ”Acting The Good”.
Kedua, pelembagaan agama ke dalam organisasi akan terhadang oleh arus sekularisai yang begitu gigih memutuskan kaitan antara yang profane dengan yang imanen. Agama diputukan hubungannya dengan masalah kenegaraan, karena keberagamaan adalah urusan pribadi yang tidak perlu dicampurtangani oleh pemerintah. Inilah debirokratisasi agama. Kondisi seperti ini tentunya masih perlu dipikirkan kembali.
Ketiga, ritual agama yang dianggap menghambat produktivitas ekonomi masyarakat. Penyegaran ritus agama juga tidak mudah karena harus pula berpegang pada kadar otentisitasnya. Menghindari tuduhan bahwa agama sarat dengan superstisi, takhayul, bid’ah, khurafat dengan sendirinya terkait pada rasionalisasi ritual-ritual agama. Agama yang paling sedikit dan efisien ritualnya akan memiliki masa depan yang lebih baik. Beralihnya orang kepada mistisisme adalah salah satu manifestasi dari proposisis ini.Keempat, aspek kepemimpinan agama, tuntutan terberat adalah pengadaan pemimpin “mumpuni, handal, memiliki kualifikasi keilmuan yang komprehensif, mendalam”, dalam arti memilki penguasaan mendalam terhadap totalitas ajaran agama dan dinamika yang menyertainya serta memilki wawasan dan pemahaman yang memadai pula tentang perikehidupan masyarakat industri modern dengan segala atributnya. Disini ia pun dituntut memiliki kmampuan komunikasi kepada berbagai pihak. Disamping itu, secara personality yang terpenting dari seorang “pemimpin agama” ia harus memiliki “good character”, artinya pemimpin bukan hanya pandai berbicara, namun ia menjadi “uswah hasanah”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.Abraham, M. Francis, Modernisasi Dunia ke-3, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1984
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Harrington, Michael, The Other America ,Baltimore : Penguin Books, 1968.
Hussain, Asaf, Political Perspective in The Muslim World, London : Mac Millan, 1984.
Imtiaz, Modernization and Social Change Among Muslims in India , New Delhi : Manohar, 1983.
Lerner, Daniel, The Passing Of Traditional Society, Glencoe: Free Press, 1958.
___, International Encyclopedia Of Social Sciences, Vol. 9, 10, New York : The Macmillan Company and The Free Press, 1968.
Light, Donald Jr, Suzanne Keller, Sociology, New York : Alfred A. Knopf, 1982.
Madjid, Nurcholish, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta : Paramadina, 1992.
Mickey., J.P., et. al, A History Of World Society, Boston : Houghton Mifflin Company, 1984.
Robertson, James, Alternatif Yang Sesat: Pilihan Untuk Masa Depan, Jakarta : YOI, 1990.
Wrihgt, T.P., Indveted Modernization of Indian Muslims By Revivalists, dalam Imtiaz.
Zanden, Vander, Jame W, The Social Experience An Introduction To Sociology,
New York : Random House, 1988.
0 komentar:
Posting Komentar