Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Jumat, Maret 05, 2010

Teori Konflik Dahrendorf dan Coser

Teori Konflik Dahrendorf dan Coser  


Sebagaimana perspektif fungsionalisme struktural, teori konflik menekankan kenyataan sosial pada tingkat struktur sosial ketimbang tingkat individual, interpersonal, ataupun kultural (Johnson/II, 1986: 162). Implikasi teori ini begitu luas mencakup pelbagai tingkat kenyataan sosial. Masalah hubungan antarpribadi, misalnya, dapat dijelaskan dengan mudah menurut prinsip-prinsip umum yang dikembangkan dalam teori konflik. Tetapi tekanannya adalah pada konflik-konflik sosial yang bersumber pada struktur sosial, termasuk yang terjadi secara “tatap muka”.
Dengan demikian, orientasi dari teori konflik adalah sama dengan fungsionalisme struktural yaitu pada studi struktur dan institusi sosial. Pendirian kedua teori inipun bisa disejajarkan dengan arah yang berlawanan. Sementara para fungsionalis menganggap masyarakat adalah statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang; para teoritisi konflik melihat bahwa setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis menekankan keteraturan sebagai sumber integrasi dan keseimbangan, teoritisi konflik menekankan konflik sebagai sumber perubahan (Ritzer & Goodman, 2004: 153)

Dahrendorf: antara Konflik dan Konsensus
Ralf Dahrendorf (sosiolog asal Jerman) menarik perhatian para ahli sosiologi Amerika melalui bukunya, Class and Class Conflict in Industrial Society, edisi Inggris yang sudah diperbaiki pada tahun 1959. Sebagai warga Jerman yang lahir pada tahun 1926, selagi muda mengalami masa kebangkitan Nazisme di negaranya. Ia juga terlibat aktif dalam aktifitas politik selain menekuni dunia akademisnya. Malah, ia pernah menjadi anggota Parlemen Jerman Barat (Johnson/II, 1986: 182).
Di tahun 1970-an, teori konflik Dahrendorf mampu menggantikan dominasi fungsionalisme struktural di dunia sosiologi, meskipun tidak sekuat dominasi fungsionalisme pada yang terjadi pada 1950-1960-an (Turner, 1998: 165).
Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konsensus dan konflik. Karenanya, sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian; teori konflik dan teori konsensus. Tidak akan pernah ada masyarakat tanpa konflik dan konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Konflik tidak akan pernah terjadi tanpa adanya konsensus sebelumnya; begitu juga sebaliknya. Contohnya (Ritzer & Goodman, 1998: 154), nyonya Perancis sangat tidak mungkin berkonflik dengan pemain catur Chili karena tak kontak sebelumnya antara mereka; tak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan basis bagi munculnya konflik. Di lain pihak, aliansi Amerika dan Jepang pasca Perang Dunia II, merupakan contoh di mana ada bagian-bagian konflik yang justru mampu menyediakan basis bagi terciptanya integrasi.
Hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, meskipun bisa dijelaskan dalam berbagai kasus, tetap saja membuat Dahrendorf tidak optimis akan lahirnya teori sosiologi tunggal yang mampu mencakup kedua proses itu. Ia menyatakan: “Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat Barat” (Ritzer & Goodman, 1998: 154). Oleh sebab itu, meskipun mempunyai pendirian yang sejajar dengan para fungsionalis dalam melihat struktur sosial (dengan arah yang berlawanan), nampaknya ia tetap tidak menghendaki disebut fungsionalis; sebab titik tekan teorinya adalah teori konflik bukan intergrasi sosial.
Menurut Dahrendorf, sistem sosial terbentuk bukan oleh kerjasama sukarela atau pun oleh konsensus, tetapi oleh “ketidakbebasan dan dipaksakan” yang bersumber dari adanya distibusi otoritas (Ritzer & Goodman, 2004: 154). Ia berusaha untuk mendasarkan terorinya pada perspektif Marxis modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Tetapi, tidak seperti aliran kritis Fankfurt, Dahrendorf tidak menggunakan perspektif Marxis sebagai suatu dasar untuk kritik budaya yang radikal, tetapi untuk analisa struktur sosial. Ia menganggap bahwa teori pembentukan kelas dan konflik kelas Marx hanya relevan untuk konteks perkembangan kapitalisme awal, dan tidak layak digunakan untuk menganalisis masyarakat post-capitalist.
Marx mendasarkan teori pembentukan dan konflik kelasnya pada pemilikan alat produksi, sedangkan bagi Dahrendorf, faktor yang lebih penting adalah kontrol atas alat produksi, bukan pemilikannya. Meskipun pada masa-masa awal kapitalisme pemilik alat industri berfungsi sekaligus sebagai pengontrol tetapi tidak bisa diartikan bahwa ada hubungan intrinsik antara keduanya. Karena kapitalisme berkembang, dengan pembagian kerja yang semakin kompleks, maka fungsi pemilikan dan kontrol pun harus secara tegas dipisahkan. Jadi perhatian Dahrendorf atas pembentukan kelas bukan bersumber lebih dari pada pemilikan atas alat industri, tetapi pada struktur otoritas. (Johnson/II, 1986: 183).
Hubungan komunitas tidak hanya bisa diamati dalam perusahaan, tetapi juga dalam birokrasi pemerintahan, partai politik, gereja, sarekat buruh, organisasi profesional, semua jenis organisasi sukarela, dan lain sebagainya. Bagi Dahrendorf, hubungan kekuasaan yang digambarkan dalam teori Marx merupakan tipe khusus dalam sejarah awal kapitalisme yang berarti bahwa pokok-pokok analisanya tentang pembentukan dan konflik kelas tidak relevan lagi untuk digunakan dalam masyarakat modern.
Akan tetapi Dahrendorf tetap mengikuti
gaya Marx dalam pembagian kelas menjadi dua kelompok ditinjau dari dominasinya antara satu dengan yang lain. Dinamika konflik yang digambarkan Dahrendorf sendiri pada dasarnya menempatkan dua kelompok kelas yang saling bertentangan yang merupakan akibat logis dari pembagian otoritas di antara keduanya. Namun pembagian itu tidak bersumber pada kepentingan orang perorangan tetapi didasarkan pada posisi yang sudah melembaga dan sah dalam suatu “asosiasi yang terkondinasi secara imperatif” atau imperatively coordinated associations (ICA)” (Turner, 1998: 166). Jadi, peran apapun yang dimainkan oleh setiap individu selalu berkaitan dengan posisi (kelas) yang mereka tempati.
Setiap individu tidak harus sadar dengan kepentingan kelasnya, tetapi bukan berarti hal itu membuatnya tidak berkepentingan. Dengan anggapan ini, Dahrendorf menolak teori “kesadaran palsu” yang dikembangkan Marx. Kepentingan merupakan hal yang melekat pada tiap kelas sekalipun tanpa disadarinya, karena strukturlah yang menciptakan kepentingan itu. Kepentingan kelas obyektif yang ditentukan semata-mata oleh struktur sosial dan tidak disadari oleh anggota kelas sosial merupakan “kepentingan laten” (latent interests); sedangkan sebaliknya disebut “kepentingan manifes” (manifest interests). Kalau kepentingan itu bersifat laten, maka ia tidak dapat menjadi dasar yang jelas bagi pembentukan kelompok; dan dalam “ICA” semacam ini dipandang sebagai quasi-group atau (“kelompok semu”). Bagi ICA manapun, ada dua “kelompok semu” di mana yang satu memegang otoritas untuk dipatuhi dan yang lainnya berada pada posisi untuk mematuhi. Jika orang-orang dalam salah satu kelompok semu tersebut memngembangkan keasadarannya dan memperjuangkan kepentingannya, maka akan lahir “kelompok kepentingan” (Johnson/II, 1986: 186), meskipun lahirnya kelompok kepentingan ini tidak selalu menyertakan semua anggota dari salah satu kelompok semu yang sama, atau bahkan bisa pula terjadi, bahwa dari satu kelompok semu akan lahir lebih dari satu kelompok kepentingan yang saling bersaing.
Karena “kepentingan laten” yang bersifat obyektif itu bersifat melekat dan di luar keasadaran dari para anggota suatu kelompok semu, maka konflik di dalamnya merupakan konflik alami yang melekat dalam kelompok sosial manapun. Oleh sebab itu, yang lebih menjadi perhatian Dahrendorf pada dasarnya bagaimana “kepentingan laten” itu berubah menjadi “kepentingan manifes”, di mana kelompok-kelompok kepentingan akan lahir dan menciptakan dinamika konflik dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Dengan kata lain, Dahrendorf ingin menjelaskan bagaimana quasi-group bisa berubah menjadi conflict-group. Keasadaran para anggota quasi group dalam ICA akan membentuk conflict group, berhubungan dengan kondisi-kondisi berikut (Johnson/II, 1986: 186-187);
a) Kondisi teknis organisasi; tergantung pada pola kepemimpinan dan kaderisasi, serta pembentukan ideologi di lingkungan internal kelompok
b) Kondisi politik; tergantung pada sejauh mana kebebasan yang ada untuk pembentukan kelompok dan tindakan kelompok
c) Kondisi sosial; tergantung sejauh mana intensitas komunikasi terjadi antaranggota kelompok

Coser: Persilangan Konseptual Fungsionalisme dan Teori Konflik
Tiga tahun sebelum karya Dahrendorf, Class and Class Conflict.. (edisi Inggris) diterbitkan, pada tahun 1956, Lewis Coser (ahli sosiologi Amerika), menerbitkan “The Funcions of Social Conflict”. Sebagaimana yang diharapkan oleh umumnya teoritisi konflik pada tahun 1950-an (ketika fungsionalisme merupakan orientasi teoritis dominan dalam sosiologi Amerika), Coser memulai pandangan-pandangan teoritisnya dengan melancarkan kritikan terhadap tekanan yang berlebihan pada nilai atau konsensus normatif, keteraturan, dan keselarasan. Akan tetapi tidak seperti Dahrendorf, yang ingin dikembangkan oleh Coser adalah serangkaian upaya untuk mengkombinasikan penjelasan tentang konsensus, ketertiban, dan keteraturan dengan konflik (Ritzer & Goodman, 2004: 159). Yang dilakukan Dahrendorf sebagaimana disebutkan di atas adalah bahwa sosiologi harus terbagi menjadi teori konsensus dan teori konflik, tetapi dengan mempertentangkan proposisi dari masing-masing teori tersebut sebagaimana terlihat dalam konsep-konsepnya.
Akibatnya, fungsionalisme dan teori konflik yang dikembangkan Dahrendorf tidak memadai karena hanya berguna untuk menerangkan sebagian saja dari kehidupan sosial; yang satu menganggap sistem sebagai sebuah kenyataan yang terdiri dari berbagai bentuk keteraturan dan keseimbangan, sementara yang kedua menganggap bahwa masyarakat terbentuk melalui serangkaian dinamika konflik. Jika teori konflik mempunyai pendirian dan cakupan yang sama dalam melihat masyarakat, seharusnya ia membangun sosiologi yang mampu menjelaskan ketertiban maupun konflik, struktur maupun perbahan (Ritzer & Goodman, 2004: 158). Inilah yang tidak dilakukan oleh Dahrendorf, meskipun ia membuat karya monumentalnya setalah Coser yang mencoba mendamaikan perspektif fungsional dan konflik.
Jika Dahrendorf berangkat dari kritiknya terhadap perspektif fungsional dan teori Marx tentang pembentukan dan konflik kelas, Coser mengambil sumber penjelasan mengenai fungsi konflik dari teori Georg Simmel. Akan tetapi, karena pemikirannya diarahkan pada bagaimana mendamaikan fungsionalisme dan konflik, maka penjelasannya pun bersifat sistemik dan berorientasi sistemik. Coser tidak berupaya terlalu dalam untuk menjelaskan masalah hubungan timbal balik antar personal sebagaimana Simmel menjelaskannya dalam teori interaksi sosialnya secara detail, tetapi lebih pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul pada tingkat sistem atau struktur sosial, bukan pada bentuk-bentuk interaksi sosial yang begitu kompleks sebagaimana yang menjadi pusat perhatian Simmel (Johnson/II, 1986: 195-196). Di sini, ia hanya ingin menjelaskan bahwa konflik sosial tidak harus merusak sistem atau disfungsional dalam struktur, tetapi juga ada berbagai konsekuensi positif yang dilahirkannya dan justru menguntungkan sistem itu, selain menjelaskan berbagai tingkat atau intensitas konflik itu dari yang sederhana hingga yang bersifat kekerasan.
Tidak seperti Dahrendorf, Coser tidak tertarik pada penjelasan bahwa masyarakat terbentuk atas dasar distrbusi otoritas dan dengan begitu masyarakat mencerminkan suatu kenyataan akan adanya “dominasi dan paksaan”, tetapi lebih pada upaya untuk menempatkan konflik sebagai bagian dari bentuk interaksi sosial yang fundamental. Bagi Coser (Ritzer & Goodman, 2004), konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi, atau berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi. Kapaduan masyarakat Yahudi Israel secara internal, misalnya, ikut berperan dalam berlarut-larutnya konflik dengan bangsa Arab di Timur Tengah. Kemungkinan berakhirnya konflik justru dapat memperburuk ketegangan mendasar di dalam masyarakat Israel. Bahkan, konflik dengan satu kelompok dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain.
Konflik (Ritzer dan Goodman, 2004: 159) sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat merupakan sebuah pemikiran yang sejak lama diakui oleh “tukang propaganda” yang dapat menciptakan musuh yang sebenarnya tidak ada, atau mencoba menghembus antagonisme terhdap lawan yang tidak aktif.
Coser lebih jauh juga mengembangkan proposisi-proposisi teoritis berkaitan dengan berbagai hal yang berkaitan dengan konflik, seperti bentuk-bentuk konflik dari yang lunak hingga yang mengarah pada kekerasan; durasi konflik; dan fungsi-fungsi konflik. Konflik bisa menjadi lunak atau berbentuk kekerasan tergantung pada level persoalan yang diperebutkan antara kelompok-kelompok yang berkonflik.
Konflik yang disebabkan oleh persoalan yang abstrak, seperti nilai, norma, dan ideologi cenderungan mengarah pada bentuk kekerasan dan sulit melahirkan integrasi. Sebaliknya, konflik yang didasarkan pada masalah-masalah yang riil akan melahirkan konsensus. Durasi konflik menjadi panjang atau pendek sangat tergantung pada sejauh mana tujuan-tujuan dari masing-masing kelompok didefinisikan terutama oleh para pemimpin masing-masing. Sedangkan dari segi fungsi, konflik mengandung manfaat sekaligus hambatan bagi keseimbangan atau stabilitas struktur maupun sistem sosial; tergantung sejauh mana intensitas komunikasi dan konformitas para anggota kelompok-kelompok yang berkonflik (Turner, 1998: 171-175).
Teori Coser, karena mengambil sumber dari teori Simmel tentang interaksi, meskipun diorintasikan pada masalah-masalah struktur dan sistem sosial, berhasil diturunkan pada tingkat meso atau level kelompok dan unit-unit institusiinal masyarakat. Hal ini terlihat ketika ia secara gamblang menurunkan tingkat konflik pada persoalan partai-partai politik, meskipun tidak berarti bahwa konflik yang terjadi antar partai politik tidak bisa terjadi dalam konteks makro.

Kesimpulan
Teori konflik yang dikembangkan Dahrendorf maupun Coser sama-sama berangkat dari pembagian masyarakat menjadi dua kelompok, yaitu kelompok super ordinat dan sub ordinat. Pembagian masyarakat ke dalam dua kelomok ini bersumber dari teori kelas Marx yang membagi masyarakat menjadi kelompok borjuis dan buruh. Kedua tokoh ini juga tidak bisa lepas dati pengaruh Weber dan Simmel, karena yang menjadi perhatian kedua tokoh ini juga mencakup berbagai masalah yang berkaitan dengan struktur-struktur formal di masyarakat, interaksi sosial, dan tingkat keasadaran masyarakat (rasionalitas).
Meski demikian, keduanya berusaha menganalisis kembali sumber-sumber pemikiran yang diambilnya tersebut. Dahrendorf banyak dikritik ketika analisisnya tentang konflik justru menegasikan proposisi-proposisi Marxis. Pada saat sama, ia juga terjebak pada asumsi “deterministik” gaya fungsionalisme dengan menganggap masyarakat terbentuk di bawah proses “dominasi dan keterpaksaan” dan demikian masyarakat harus dilihat sebagai bentuk dialektika konflik. Sedangkan Coser, yang banyak mendasarkan teorinya pada pemikiran Simmel, membuat orientasi baru dengan menghilangkan level-level mikro yang sebenarnya menjadi kekuatan teori Simmel tentang interaksi sosial.
Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara lain:
1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperti yang ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.
2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur sosial.
3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi.
4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut. Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme simbol
Hal ini disebabkan karena keduanya sama-sama berangkat dari kritik terhadap fungsionalisme struktural. Perbedaan di tingkat ini antara keduanya adalah, jika Dahrendorf menganggap teori konflik sebagai perbandingan yang seimbang dengan fungsionalisme, dan dengan begitu sosiologi harus dibagi dua menjadi teori konflik dan dan teori konsensus; sedangkan Coser secara lebih bijaksana hendak memposisikan konflik sebagai bagian dari masalah sosial yang harus diangkat dan disatukan dengan teori-teori lainnya, sehingga tercipta suatu sosiologi yang mampu menjelaskan konflik sekaligus ketertiban dan kesimbangan sosial

BIBLIOGRAFI

Johnson, “Sociological Theory”, II, terj. Robert M.Z. Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, Jakarta: Gramedia, 1986
Ritzer, George & Goodman, Douglas J., “Modern Socilogical Theory”, 6th edition, terj. Alimandan, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media, 2004
Turner, Jonathan H., The Structure of Socilogical Theory, Wadsworth Publishing Company USA, 1998

1 komentar:

Anonim mengatakan...

I'm impressed, I must say. Seldom do I come across a blog that's both educative and amusing, and without a doubt, you've hit the nail on the head. The issue is something not enough folks are speaking intelligently about. Now i'm very happy I came across this in my search for something regarding
this.

Feel free to visit my weblog pilates classes

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com