A. Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis, kata ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa yunani yaitu hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ maka kata benda hermenia secara harfiah dapat diartikan sebagai”penafsiran”atau interpretasi istilah yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama hermes,yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada menusia. Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi kehidupan manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyandur sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarannya. Sejak saat itu Hermer menjadi symbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Oleh karena itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagi proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar,baik hermeneutika dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Richard.E. Palmer,1969:3)
B. Hermeneutika Menurut F.D.E.S cha leier macher (1768-1834)
Menurut Sch leir macher, ada dua tugas hermeneutika yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretsi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasan gramatikal merupakan syarat berfikir seseorang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap ‘setitik cahaya’ pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa atau psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi lingustik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasikan. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengetahui bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.
C. Hermeneutika Menurut Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Filsafat menurut Dilthey, bersifat esensial historis. Peristiwa-peristiwa sejarah telah menunjukan bahwa jiwa (Psyche) manusia berubah dalam akhir waktu dengan cara yang tidak kelihatan. Ini tidak mengherankan karena manusia adalah makhluk yang hidup dan berevolusi. Manusia tidak pernah bersifat statis, apalagi ‘terpatri’. Oleh karena itu, semua ilmu pengetahuan tentang menusia juga tidak pernah bersifat statis. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu alamiah yang terisolasi dari totalitas yang bersifat hidup, bahkan perkembangan berikutnya dapat diramalkan dengan cara-cara melodis.
Dilthey membedakan dengan tajam antara Naturwissens chaften. (Ilmu pengetahuan tentang alam ) dengan Geister Wissens chaften (ilmu pengetahuan tentang batin manusia). Semua ilmu pengetahuan tentang alam fisik seperti biologi, fisika, kimia dan ilmu-ilmu yang lainnya yang termasuk bidang ini serta semua jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi, dan eksperimen, termasuk dalam Naturwissens chaften sedang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan betin manusia seperti sejarah, psikologis, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesustraan, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam Geister Wissens chaften.
D. Hermeneutika Menurut Hans – Georg Gadamer
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutika, maka pemahaman tidak dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutika hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. Seandainya dala karya seni itu ada semacam intuisi dan spekulasi, gerakan melingkar, sesuatu bentuk pemahaman asal, pertimbangan sebelumnya, itu memang diharapkan. Gadamer menyebut hermeneutika sebagai seni dan hermeneutika semacam ini tidak dapat dipersiapkan lebih dahulu sebelum dibuat, tidak dapat diramalkan atau dikatakan sebelumnya.
Gadamer juga menambahkan istilah subtilitas applicandi, yang menandai hermeneutika, karenaia berkeyakinan bahwa penerapan, seperti halnya pemahaman dan interpretasi, adalah bagian hermeneutika. Dulu dianggap tugas hermeneutika adalah mengandung makna dari sebuah teks itu ditunjukan. Sebagai contoh misalnya tentang kitab suci, peafsiran menuntut interpretasi terhadap teks sesuai dengan kelangsungan ruang dan waktu yang sesungguhnya. Namun pada zaman sekarang ini, para penafsir dituntut mampu menerapkan pesan. Pesan teks pada konteks ruang dan waktunya sendiri, menafsirkan berarti menerapkan. Tugas interpretasi sam,a dengan tugas kankretisasi hukum atau penerapan hukum pada hal-hal khusus, jadipenerapan juga merupakan pemahaman yang benar terhadap factor yang universal.
Empat faktor yang terdapat dalam interpretasi adalah :
1. Bildung : disebut juga pembentuka jalan pikiran, ini menggambarkan cara utama manusia dalam memperkembang bakat-bakatnya.
2. Sensus communis atau pertimbangan praktis yang baik : istilah ini mempunyai aspek-aspek sosial atau pergaulan soaial, yaitu rasa komunitas. Karena sensus kommunis inilah maka kita dapat mengetahui hampir secara instingtif bagaimana menangani interpretasi.
3. Pertimbangan : menggolong-golongkan hal-hal yang khusus atau dasar pandangan tentang yang universal, atau mengenali sesuatu sebagai contoh perwujudan hukum. Dalam hal ini, kita terutama memahami pertimbangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dipelajari ataupun diajarkan, tetapi hanya dapat dilaksanakan dari satu kasus ke kasus yang lain.
4. Selera : adalah keseimbangan antara insting panca indera dengan kebebasan intelektual. Selera dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal yang kita sukai serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.
Dari semuanya itu, konsep tentang pengalaman termasuk didalamnya. Sifat pengalaman adalah personal individual, jadi hanya akan failed jika diyakinkan dan diulangi oleh individu lain.
E. Hermeneutika Menurut Jurgen Habermas
Jurgen Habermas, Dilahirkan di Diissel dorf pada 1929 dan dibesarkan di Gummersbach, kota kecil dekat Diissel dorf. Ketika menginjak usia remaja pada akhir perang dunia II, ia ikut menyadari bersama bengsanya kejahatan yang dilakukan rezim nasional – sosialis Hitler. Keyakinan tentang pentingnya demokrasi dalam pemikiran politikya di kemudian hari, mungkin berasal dari pengalaman yang mengejutkan itu.
Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan institut penelitian sosial di Frankfurt dan menjadi asisten Adorno. Menurut kesaksiannya, ia belajar dari Adorno apa itu sosiologi. Menurut Habermas, ada tiga jenis ilmu pengetahuan yang masing – masing berhubungan dengan jenis – jenis interest atau minat tertentu. Minat instrumental atau mekanis menguasai ilmu – ilmu pengetahuan analitis – empiris, minat praktis mempengaruhi ilmu pengetahuan hermeneutika – sejarah, dan minat dalam emansipasi berhubungan dengan ilmu – ilmu pengetahuan sosial yang berkaitan dengan kritik, atau ilmu pengetahuan sosial – kritis.
Sebagai contoh misalnya :ideology berperan penting dalam ilmu – ilmu pengetahuan sosial – kritis, namun ideology tersebut bukan merupakan faktor yang tampak atau kelihatan dalam ilmu-ilmu pengetahuan analisis- empiris.
Habermas sebenarnya ingin berada diantara dua kutub inetologis, yaitu diantara hermeneutika yang subjektif dan hukum – hukum sain yang objektif. Untuk selanjutnya ia ingin menggabungkan kedua hal tersebut dan menerapkannya pada sains. Yang ia inginkan ialah mengobjektifikasikan semua hermeneutika yang terlalu subjektif atau men subjektifkan semua metode yang terlalu ilmiah, dengan cara menarik kedua hal tersebut menuju refleksi diri dan minat.
Pendekatan hermeneutika mengandaikan adanya aturan-aturan linguistik transendetal pada tindakan komunikati, sebab akal pemikiran atau penalaran sifatnya melebihi bahasa. Pembahasan hermeneutika mempunyai tiga momentum, yaitu :
1. Pengetahuan praktis yang reflektifmengarahkan kita kepada pengetahuan tentang diri sendiri, sebab dengan melihat dimensi sosial kita melihat diri kita sendiri. Untuk itu kita harus mampu membaurkan diri kedalam masyarakat.
2. pemahaman hermeneutika memerlukan penghayatan dan bila dihubungkan dengan ‘kerja’ akan membawa kita ketindakan nyata atau prektis atau perpaduan antara pengetahuan antara pengetahuan dan bentuknya.
3. Pemahaman hermeneutika sifatnya global, yaitu mengandaikan adanya tujuan khusus dan pemahaman ini dapat ditentukan secara independent atau bebas dengan maksud untukmencapai perealisasikannya melalui tindakan komunikatif, pemahaman hermeneutika mempunyai bentuknya yang hidup, yaitu kehidupan sosial.
F. Hermeneutika menurut Paul Ricoeur
Ricoeur mendefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol – simbol, kiranya terlalu sempit. Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambah “ Perhatian Kepeda Teks”. Teks sebagai ruang lingkup hermeneutika karena budaya moral (ucapan) dapat dipersempit. Hermeneutika dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata yang tertulis sebagai ganti kata – kata yang di ucapkan.
Tugas hermeneutika menjadi sangat berat, sebab hermeneutika harus membaca”dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam aspek – aspek subjektif dan objektif.
Sebenarnya dengan pendapatnya itu Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa hermeneutika adalah sebuah “Metode” yang dapat bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains. Ricoeur juga mempertanyakan metode yang dipakai Dil they dalam Geister Wissens chaften –nya yaitu hermeneutika, yang dibedakannya dengan metode yang terdapat pada Natur Wissens chaften. Ricoeur sendiri tidak benar – benar memperlakukan hermeneutika sebagai metode. Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif, kaku, dan terstruktur yang terdapat dalam ilmu – ilmu ilmiah. Sebab, pemahaman adalah salah satu aspek dari proyeksi Desain’(proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaanya terhadap berng pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang metode,melainkan pertanyaan tentang pengejawatahan untuk berng yang eksistensinya terkandung didalam pemahaman terhadap berng. Untuk mempermudah pemahaman tentang pengejawatahan berng, kita ambil contoh misalnya : manusia kita pahami sebagai Desain atau manusia seutuhnya,artinya kita memandang manusia dari segal aspek yang ia miliki, baik sejarah, asal – usul, cita – cita, gaya, penampilan, kejelakan, serta segala sesuatu yang membuat menjadi ‘khas’. Jadi kita memahami manusia sebagaimana ia “menjadi”.
G. Hermeneutika Menurut Jacques Derrida
Hermeneutika menurut Derrida adalah pemahaman dalam karya, tujuannya adalah membongkar rahasia pandangan dunia dari pengarang dan memungkinkah kita untuk menyandur bahwa esensi fenomenalogis dari memahami tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang ia katakan. Orang yang dapat merasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau makna yang melekat pada pengarang. Hermeneutika kemudian berusaha melepaskan makna dari kata – kata yang diucapkan atau yang tertulis tepat pada saat kata-kata itu diucapkan, ini dapat terjadi karena suara terdengar adalah identik dengan kesadaran.
Dari pernyataan Derrida tersebut diatas, kita dapat melihat antisipasi persoalan yang diperhitungkan didalam hermeneutika. Teori interpretsi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya juga merupakan teori tentang teks. Pemahaman seseorang tergantung pad bagaimana ia membaca teks. Atas dasar ini, maka teori membaca juga akan tergantung pada pemahaman.
Didalam La Dissemination, Derrida membicarakan tentang “obat” buatan Plato. Ia mengatakan bahwa air, tinta, cat ataupun parfum adalah obat – obat yang meresap dalam bentuk cairan. Barang – barang cair itu diminum, dihisap, masuk kedalam tubuh kita. Menurut Derrida, sebuah istilah menggadakan dirinya melaui “ pembelahan diri”, atau berkembang melalui ‘pencangkokan diri’. Jadi istilah itu bagaikan sebuah benih dan bukan sebagai istilah yang bersifat mutlak. Sebagaimana sebuah benih, istilah mempunyai keterbatasannya sendiri yang berasal dari dalam, bukan dari luar dirinya. Atas dasar inilah Derrida menolak polisemi dan sebagai gantinya ia menganjurkan di seminasi atau penguraian.
Oleh karena itu, memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar mengetahui makna atau tanda kata – kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Inilah yang dimaksudkan istilah ‘kelayakan’ atau’kepatutan’. Namun, interpretasi tidak pernah dapat terlaksana jika dilakukan dalam ratio satu lawan satu antara interpreter dengan teks. Orang harus menempatkan dirinya pada interpretsi subjektif, baik itu terjadi dalam fisafat atau kesusastraan.
0 komentar:
Posting Komentar