Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Rabu, Desember 02, 2009

FILSAFAT ANALITIK

A.Latar Belakang Timbulnya Filsafat Analitik.
Dalam sejarah filsafat barat diakui bahwa inggris merupakan tempat yang paling subur bagi perkembangan empirisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling dipercaya untuk memperoleh kebenaran.
 Tokoh-tokoh empirisme seperti John Locke, David Hume dan lain-lain adalah filsuf inggris yang sudah terkenal namanya di dalam sejarah filsafat barat. Pengaruh pemikran mereka (Locke dan Hume) telah mendominasi corak filsafat inggris pada khususnya dan filsafat barat pada umumnya.
Meskipun kubu empirisme yang secara penuh bertentangan dengan kubu rasionalisme –aliran filsafat yang lebih menitikberatkan akal untuk memperoleh kebenaran- pada akhirnya dipadukan oleh Immanuel Kant, namun pengaruh pemiiran mereka belum lagi terhenti sampai disitu.
Positivisme Agust Comte yang berhasil mendorong lajunya perkebangan ilmu-ilmupengetahuan, masih bertaut erat dengan dasar-dasar pemikiran empirisme. Pengaruh pemikiran empirisme ini mulai memudar manakala gaung filsafat Heggel, Idealisme, mulai masuk ke inggris pada pertengahan abad ke-19.
Filsafat Hegel yang menguasai atau merajai dunia di seantero eropa itu berhasil meluluhlantakan pengaruh pemikiran empirisme dikandangnya sendiri yait inggris.
Tetapi pada awal abad ke-20 iklim filsafat (khususnya di Inggris) mulai berubah. Para ahli fakir inggris mulai mencurigai atau meragukan ungkapan-ungkapan filsafat yang dilontarkan oleh kaum Hegelian (pengikut Hegel).
Para filsuf inggris menilai ungkapan filsafat idealisme bukan saja sulit dipahami tetapi juga telah menyimpang jauh dari akal sehat. Oleh karena itu para  filsuf inggris berupaya melepaskan diri dari cengkraman filsafat idealisme.
Revolusi yang ditiupkan oleh para filsuf tersebut yang cukup terkenal yaitu G.E.Moore segera disambut hangat oleh tokoh Cambridge lainnya Bertrand Russelstein. Melalui Wittgensteininilah revolusi yang menentang pengaruh kaum hegelilan itu muncul metolde filsafat yangbaru yaitu metode analisa bahasa.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasiil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Dengan metode analisis bahasa itu tugas filsafat bukanalah membuat pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakfahaman terhadap bahasa logika.
Hal ini berarti analisa bahasa terus bersifat kritik terhadap bahasa (critical of language) yang dipergunakan dalam filsafat.
Metode filsafat bahasa inilah yangtelah membawa angina segar ke dalam dunia filsafat (terutama di inggris) karena kebanyaka orang menganggap bahasa filsafat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan realitas.
Begitu banyak istilah atau ungkapan yang aneh dalam filsafat (seperti : eksistensi, nothingness, substansi dan lain-lain) sehingga menimbulkan teka-teki yang membingungkan para peminat filsafat.

B.Ruang Lingkup Filsafat Analitik.
Sulit untuk menentukan corak pemikiran filsafat barat di abad ke-20 ini karena begitu luasnya permasalahan yang dibicarakan dalam dunia filsafat tersebut.
Salah satu cara untuk mengetahui corak pemikiran filsafat barat ini adalah dengan melihat periodisasi yang dibuat oleh para ahli filsafat. Secara umum periodisasi pemikiran filsafat barat itu dapat dibedakan atau dikelompokan menjadi berikut ini yaitu:
d Zaman Yunani Kuno (abad 7-5 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “kosmosentris”, artinya para filsuf pada waktu itu mengarahkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah mereka yang berkaitan dengan asal mula terjadinya alam semesta.
Mereka berupaya mencari jawaban tentang prinsip pertama (arkhe) dari alam semesta oleh karena itu mereka lebih dikenal dengan julukan “filsuf-filsuf alam”. Tokoh yang termahsyur ialah: Thales, Anaximandros, Anaximenes dan lain-lain.
d Zaman Yunani Klasik (abad 5-2 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “Antrophosentris” artinya para filsuf dari periode ini menjadikan manusia sebagai objek pemikiran filsafat mereka.
Mereka berupaya mencari jawaban tentang masalah etika dan juga tentang hakekat manusia. Tokoh yang terkenal pada waktu itu antara lain ialah Socrates, Plato, Aristoteles.
d Abad Pertengahan (abad 2-14 SM).
Pada masa ini filsafat lebih bercorak “Theosentris” artinya para filsafat dalam periode ini menjadika filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan.
Suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama (Kristen). Tokoh yang paling terkenal pada waktu itu ialah Augustinus dan Thomas Aquinas.
d Zaman Renaissance (abad 14-16 SM).
Pada masa ini para ahli filsafat berupaya melepaskan diri dari dogma-dogma agama. Bagi mereka citra filsafat yang paling bergengsi adalah zaman klasik Yunani kuno.
Oleh karena itu mereka mendambakan kelahiran kembali filsafat yang bebas yang tidak terikat pada ajaran agama. Cita-cita ini terwujud dengan baik karena ditunjang oleh factor penyebab sebagai berikut :
{  Pudarnya kewibaan dewan gereja pada masa itu karena dianggap terlalu banyak mencampuri kegiatan-kegiatan ilmiah. Misalnya hukuman bakAr yang dikenakan terhadap Bruno lantaran kegiatan ilmiahnya dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama.
{  Orang tidak lagi mempercayai nilai-nilai universal yang dianggap terlalu abstrak. Orang-orang pada masa itu lebih mendambakan nilai-nilai individual yang bersifat konkrit dan lebih banyak memberikan kesempatan untuk menggunakan akal fikiran secar bebas.
d Abad Modern (abad 16-19 SM).
Corak pemikiran filsafat pada masa ini kembali pada masalah “Antrophosentris” serupa dengan zaman klasik Yunani namun lebih mengutamakan kemampuan akal fikiran manusia.
Tokoh yang termahsyur pada masa ini antara lain: Descrates, Hume, Immanuel Kant, Hegel dan August Comte.
d Abad Keduapuluh.
Meskipun sulit untuk menetukan corak pemikiran filsafat yang khas pada masa ini namun banyak ahli filsafat yang menganggap filsafat yang bercorak “Logosentris” lebih dominant daripada yang lain.
“Logosentris” artinya kebanyakan filsuf pada masa ini melihat bahasa sebagai obyek terpenting pemikiran mereka.

Para Filosof Berbicara Tentang Analitik
A.Socrates.
Filsuf ini piawai dari Athena dan hidup pada masa filsafat hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum Sofis. Kaum Sofis inilah yang membawa perubahan terhadap corak pemikiran filsafat yang semula terarah pada Kosmo (alam semesta) menjadi corak berfikir filsafat yang terarah pada teori pengetahuan dan etika.
Kekacauan filsafat yang mulai timbul pada saat kaum sofis memberikan criteria yang berada tetntang dasar-dasar teori pengetahuan dan etika. Mereka tidak memiliki kesepakatan tentang dasar-dasar umum yang berlaku bagi ke dua teori tersebut.
Mereka hanya mencapai kata sepakat mengenai satu hal: kebenaran yang sesungguhnya tidak mungkin dapat tercapai, segala sesuatu hanya bersifat nisbi oleh karena itu harus diragukan kebenarannya.
Dalam situasi yang kacau itulah Socrates tampil kearena filsafat untuk menghadapi pengaruh kaum sofis. Metode yang dipakai Socrates untuk menghadapi kelihaian silat lidah kaum sofis itu dikenal sebagai metode Dialektik-Kritis.
Proses dialektika di sini mengandung arti “dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran denagn memakai pertemuan antar ide”.
Sedangkan sikap kritis itu berarti Socrates tidak mau menginginkan begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membutikan benar atau salahnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan metode Dialektik-Kritis ini Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut.
  Setelah diperoleh penjelasan tentang pengertian tersebut dari ahlinya Socrates kemudian mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai dasar-dasar pemikiran para ahli tersebut apa alasan merekasehingga berpandangan demikian.
Jadi Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli umtuk mempertanggung jawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban yang didukung dengan alasan yang benar, maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebgai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan.

B.Aristoteles.
Filsuf piawai kelahiran Stageira ini termasuk salah seorang cucu muri Socrates yang paling jenius dalam bidang filsafat.
Ia telah banyak menulis karya filsafat salah satu diantara karyanya ialah Organon dan merupakan sumbangan paling berharga bagi bidang filsafat analitik tersebut.
 Pokok soal yang dibahas Aristoteles dalam organon yang kemudian lebih dikenal dengan nama logika tradisional itu meliputi pengertian dan penggolongan artian, keterangan, batasan, susunan fikiran, penyimpulan langsung dan kesesatan berfikir adalah butir-butir pemikiran yang bertaut erat dengan bahasa.
Dengan mempelajari aturan fikiran yang diajukan Aristoteles tersebut kita dapat memperoleh keputusan yang terjamin keabsahan (valid). Keseluruhan maksud dalam putusan yang diutarakan dengan kata atau rangkaian kata tersebut disebut kalimat.
Bahasa dengan kata dan kalimat memang alat dan penjelmaan berfikir sebab itu logika erat hubungannya dengan bahasa dan dari sinilah kita dapat melihat besarnya pengaruh yang ditanamkan Aristoteles terhadap pemikiran tokoh-tokoh filsafat analitik, terutama kaum atomisme logic dan positivisme logic.
Dengan demikian upaya sebagian besar filsuf analitik untuk menerapkan penggunaan bahasa logika ke dalam bidang filsafat, seraya nyata telah memperlihatkan pengaruh pemikiran yang kuat.
Kendatipun bidang logika dalam kurun waktu belakangan ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat (dinamakan logika modern atau logika simbolik) namun dasar-dasar pemikiran yang digariskan Aristoteles sebelumnya masih tetap merupakan bahan pemikiranyang actual.

C.David Hume
  Tokoh empirisme yang berasal dari inggris ini menganggap pengalaman sebagai sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Bagi Hume sumber segala pengertian filosofis itu adalah pengalaman inderawi yang meliputi isi pengertian, hubungan natara pengertian serta kepastian pengertian.
Pandangan demikian ini jelas bertentangan dengan pandangan Descrates yang lebih mempercayai akal sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Memang disanalah letak pertentangan natara kaum rasionalis dengan kaum empirisme tersebut.
Meski Hume mengakui bahwa sikap skeptis secara metodis dari Descrates berguna untuk memerangi metafisika, namun ia tidak mempercayai setiap skeptis itu dapat membahayakan common sense (akal sehat).
Sumbangan Hume lainnya bagi pertumbuhan filsafat analitik adalah pandanganya mengenai ide sederhana dan ide kompleks. Bagi Hume “ide yang sederhana itu adalah copy dari perasaan yang sederhana dan ide yang kompleks dibentuk dari gabungan ide sederhana atau kesan yang kompleks”.
Pandangan Hume in kelak akan diambil ahli oleh Russel untuk menjelaskan ajarannya mengenai Atomisme Logik terutama pembahasan Russel tentang Particularia.
Selanjutnya dalam upaya untuk menyingkirkan istilah-istilah kosong Hume menunjukan suatu cara pemberia reduktif artinya meneliti ide-ide komples yang lazim dipergunakan, sejauh mana ide itu dapat dipertanggung jawabkannya.
Apakah ide-ide kompleks itu dapat dikembalikan pad aide sederhana yang membentuknya. Jikalau suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisa menjadi komponen yang simple (ide sederhana) maka istilahnya tersebut tidak mempunyai arti.

D.Immanuel Kant
Filsuf jerman kelahiran Konigsberg ini dikenal sebagai tokoh kritisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum empirisme.
Menurut Kant pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek.
Putusan yang bersifat analitik-apriori ini memang mengandung kepastian dan berlaku umum tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum empirisme itu tercermin dalam putusan yangbersifat Sintentik-aposteriori yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk kedalam subyek.
Meski putusan yang bersifat sintetik-aposteriori ini memberikan pengetahuan yang baru bagi kita namun sifatnya tidak tetap, sangat tergantung pada ruang dan waktu dan kebenaran disini bersifat subjektif.

0 komentar:

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com