Mereka Bilang Aku Kafir
Akeh wong apal.. qur’an hadist e…
seneng ngafirke marang liyane..
Kafire dewe.. gak di gathekke.. yen
iseh kotor ati.. akale…
Sebuah sajak tanpo waton yang konon
di dendangkan oleh almarhum Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Adalah
merupakan potret yang ada dalam realitas sosial saat ini. Banyak orang yang ngaku-ngaku
paham tentang wahyu Tuhan dan sunnah Nabi itu, lalu, halal apabila mengklaim
kafir terhadap kelompok/golongan tertentu yang tidak sepaham dengan dirinya.
Memang, fenomena kafir-mengkafirkan
antar umat islam satu dengan lainnya telah banyak kita jumpai. Dengan mudahnya,
bibir berucap: kowe kafir kon, bolone Thogut (kamu orang kafir, temannya
Thogut).
Apabila tidak mengikuti aliran atau
ajaran si “A”, lalu di tuduh sebagai orang yang kafir. Dan bahkan,. Lebih
fatalnya lagi jika darahnya juga halal. Dan. Itu pun tidak peduli siapapun itu
orangnya, bahkan ibu kandungnya sendiri pun, jika menyeleweng dari ajaran yang
ia anut, tidak sepaham, maka menjadi halal darahnya, karena sudah dianggap
kafir !
Dengan adanya fenomena seperti
diatas, redaksi menjadi risih dan tergelitik untuk mengangkat tema “kafir”
untuk pembaca. Tidak hanya itu, bila membincang masalah kafir, sebenarnya
sematan kata kafir sendiri mengandung muatan politis. Yakni berawal dari
kemunculan bermacam-macam golongan, seperti: Ahlussunnah, Khawarij, dan
Mu’tazilah. Buku-buku sejarah telah banyak mengulas dan mengekspos
kejadian-kejadian itu, bahwasannya istilah kafir mengandung nuansa politis.
Yakni berawal dari jargon Khawarij
yang terkenal dengan “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain
hukum Allah). Karena itu, sekte ini mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah, yang mana
mereka anggap tidak mau berhukum dengan Alquran ketika mereka berperang di
Shifin. Disamping itu juga, menyoal kajian teologi islam—yang menyangkut
masalah iman dan kafir—dari ketiga golongan diatas telah mengurai dengan detail
dan berbeda pendapat mengenai masalah ini. Hal yang demikian mengingatkan kita
bahwa klaim kafir sangat lah kental bernuansakan politis.
Dan bila ditelisik lebih dalam,
kafir sendiri tidaklah menjanjikan neraka, Karena yang menjanjikan neraka itu
adalah murtad, musyrik, dan munafik. Urusan syahadat dan pembaptisan, itu juga
sangkut pautnya mengenai masalah murtad dan musyrik, bukanlah kafir.
Dalam gramatikal bahasa (lughoh),
makna kafir (baca: kufr) mempunyai arti “menutupi”. Malam, disebut
“kafir”, karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan
kegelapannya.
Dan, menurut Prof. Toshihiko Izutsu,
didalam bukunya Ethico Religious Concepts in The Qur’an (1966)
digambarkan bahwa, kafir yang bermakna “tertutup” itu urusannya adalah masalah
etika dalam islam, yakni orang yang hatinya tertutup terhadap masalah sosial.
Mata hatinya menutup diri dalam menyikapi realitas sosial masyarakat.
Disini ada sebuah pemahaman, bahwa
hakikat makna kafir lebih mengarah kepada ‘tipologi sosial’. Bukan urusan
Tuhan. Seseorang yang bodoh, tidak mau mikir, menutup pemikiran, menutup pintu
ijtihad, itulah yang sebenarnya kafir.
Koruptor, yang menutup dirinya
kepada kondisi sosial masyarakat, dan ingin memperkaya diri sendiri, itulah
golongan yang paling kafir. Karena menyebabkan kerugian negara dan masyarakat.
Bahkan, dia mempunyai dosa sosial yang sangat besar.
Dajjal di tahun 2012 dan tahun-tahun
yang akan datang sebenarnya adalah menyangkut masalah: kemiskinan, kebodohan,
anarkisme, dan korupsi (yang menjadi common enemy). Dengan demikian,
tugas dari orang yang beriman, seharusnya memberantas itu semua, jangan hanya
pintar melabel-i: haram, halal, sesat, atau kafir.
Dengan demikian, jangan-jangan anda
sendiri masih mendapatkan “cap kafir”, walaupun di KTP-nya bertuliskan agama;
Islam. Demikian.
0 komentar:
Posting Komentar