Sekolah Ijazah
SEKARANG orientasi orang kuliah, sekolah, dan belajar tidak
lagi berada pada satu titik fokus; mendapatkan pengetahuan. Tetapi telah
merambah pada anggapan bahwa sekolah, dan kuliah adalah untuk mendapatkan
ijazah atau legalitas dimana nantinya akan digunakan untuk formalitas
persyaratan masuk kerja.
Sebelum masa revolusi industri, orang belajar berorientasi
untuk mendapatkan ilmu. Ilmu yang didapatkan itu digunakan untuk menghasilkan
penemuan baru, membuat sebuah karya tertentu atau paling banter untuk
memperoleh ketenaran bahwa dia orang berilmu, ilmuan dan cendikiawan. Tetapi,
tidak ada orientasi ketika itu bahwa belajar atau kuliah untuk mendapatkan
legalisir pengakuan ijazah sebagai syarat masuk kerja atau menentukan posisi
seseorang dalam sebuah pekerjaan.
Setelah revolusi industri semua tujuan keilmuan berubah
menjadi jalan mencari pekerjaan, dan profesi. Memang wajar, karena saat ini
orang dinilai berguna tidaknya tergantung dari keahlian yang dimiliki. Dan
bukti orang dikatakan memiliki keahlian ditunjukkan dengan legalitas ijazah.
Jadi jika seseorang punya ilmu yang luas dan keahlian yang banyak tetapi ia
tidak punya legalitas, ijazah tetap saja orang ini belum dianggap
berpengetahuan.
Berbeda ceritanya jika ada orang yang ingin jadi pengusaha,
bukan karyawan perusahaan atau pegawai pemerintah. Karena yang dibutuhkan untuk
menjadi seorang pengusaha adalah keahlian saja tampa tersyarat formalitas
ijazah atau surat bukti yang terlegalisir berpendidikan. Sekarang yang sedang
kita bicarakan terkait orang yang ingin jadi pegawai pemerintah atau karyawan
perusahaan. Berhubung kecendrungan saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia
lebih banyak memilih menjadi karyawan perusahaan atau pegawai pemerintah.
Pola seperti ini pada akhirnya akan membentuk kelas baru
dalam masyarakat, yaitu kaum terpelajar secara formal dan tidak terpelajar.
Yang terpelajar pun ada pembagiannya lagi, tergantung tingkat atau strata
pendidikan yang ditempuh. Semakin tinggi strata pendidikan seseorang dalam
bidang tertentu, yang dibuktikan dengan ijazah, menunjukkan bahwa orang itu
memiliki keahlian yang lebih berbobot dan berkualitas dari yang lain.
Dan ini semua ada dampaknya, di mana yang pendidikannya lebih
tinggi akan memperoleh pekerjaan yang lebih berkelas dan terhormat dari mereka
yang pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan, sekali lagi
dibuktikan dengan ijazah. Walaupun ada persyaratan lain ketika melamar kerja,
seperti, berpengalaman sekian tahun, tetapi tetap saja strata pendidikan
menentukan segalanya.
Misalnya, lulusan sekolah dasar (SD), SLTP, dan SLTA, atau
yang tidak sekolah formal sama sekali, paling banter saat ini hanya bisa
bekerja sebagai buruh lapangan, jadi office boy, tukang bersih-bersih, buruh
bangunan atau pekerjaan lainnya yang bisa dibilang rendah. Dalam hal gaji pun
berbeda jauh antara yang berpendidikan lebih tinggi dengan mereka yang
pendidikannya lebih rendah atau tidak berpendidikan formal.
Untuk buktinya. Sekarang coba lihat dan cari, adakah
perusahaan atau instansi pemerintah ketika akan merekrut anggota, pegawai
karyawan baru, yang membuat pernyataan bahwa penerimaan anggota, pegawai dan
karyawan tergantung dari segi keahlian, baik ia berpendidikan formal atau
tidak? Saya belum menemukan yang seperti itu. Pasti semuanya mensyaratkan bahwa
calon anggota, pegawai dan karyawan minimal harus lulusan SMP, SMA, Diploma, SI
dan lain sebagainya.
Akhirnya apa yang terjadi? Setiap orang berlomba-lomba
memperoleh pendidikan formal. Tujuannya satu, mendapatkan ijazah. Setiap tahun
peminat sekolah formal terus meningkat. Bahkan ada yang berani bayar ratusan
juta yang penting anaknya bisa masuk universitas atau tempat pendidikan formal
tertentu. Sehingga muncullah sarana-sarana licik, seperti pembelian ijazah
tanpa harus belajar, sogok menyogok, kampus bayangan, dan lain sebagainya.
Kelihatannya memang bagus, karena masyarakat kita
berlomba-lomba mengenyam pendidikan. Tetapi sebenarnya ada dampak negatif yang
timbul, yaitu orientasi mengenyam pendidikan berubah, tidak lagi memperoleh
ilmu, tetapi telah beralih untuk memperoleh legalitas ijazah. Akhirnya
muncullah sarjana-sarjana, cendikiawan-cendikiawan yang tidak berbobot di
bidangnya. Yang bisa dibanggakan cuma strata pendidikan mereka, bukan kemampuan
mereka. Wajarlah jika saat ini sangat sedikit muncul orang-orang hebat, semisal
bung Karno, Agus Salim, dan Muhammad Nasir di Indonesia.
Sekarang, hampir semua orang justru sibuk memburu lembaran
kertas yang bernama ijazah atau sertifikat itu. Buat apa? Tentu saja untuk
mendapatkan status yang lebih baik dan ujung-ujungnya mendapatkan lembaran
kertas lainnya: uang. Apakah ini pertanda, dunia pendidikan telah mulai
bergeser menganut paham materialisme? Entahlah…
So, apakah salah mengharapkan materi dan jabatan?
Tidak salah, kita butuh uang untuk makan, minum, berpakaian, dsb. Namun materi
tak layak menjadi landasan dalam hidup kita. Semua materi itu hanya sementara.
Ia akan segera terkubur seiring dengan berlalunya waktu.
Coba kita lihat kembali tujuan akhir pendidikan nasional:
membentuk generasi yang tanggap terhadap perubahan, berjati diri Indonesia, dan
saleh perilakunya. Mungkinkah semua itu terwujud dengan alasan-alasan materi
saja? Tidak mungkin!
Perlu alasan-alasan spiritual yang kuat untuk mewujudkan itu
semua… Ada ‘Sesuatu’ yang lebih hebat dari lembaran kertas itu. Sesuatu yang
bisa mewujudkan apapun. Sesuatu yang selalu memerhatikan kita. Sesuatu yang
selalu memberikan hal terbaik untuk diri kita, walaupun hal itu tidak kita
sukai. Sesuatu tempat menambatkan harapan-harapan kita… dan suatu saat, kita
pasti kembali pada-Nya.
Tanpa spiritualitas, mana mungkin ada guru yang ikhlas
mengajar, dengan atau tanpa kenaikan gaji. Mana mungkin ada guru yang mau
meningkatkan kapasitasnya secara mandiri, tanpa sertifikasi. Sehingga, tak
mungkin pula ada guru yang dapat mewariskan jati diri dan kesalehan. Tanpa
spiritualitas, semuanya hampa, kering, dan semu…
2 komentar:
betul pak
sekolah cuma bisa menghasilkan ijazah kemampuannya nihil !!!
sekolah sampai lama cuma mengejar kertas. Dilema :D
Posting Komentar