Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Minggu, Desember 16, 2012

Lomba Katrol Nilai


Lomba Katrol Nilai

Sungguh ironis, dengan adanya berbagai kebijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini, guru bagaikan telur diujung tanduk. Bagaimana tidak, di satu sisi peran guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih. Guru dituntut mengajarkan ilmunya kepada peserta didik, transfer of knowledge. Guru dituntut untuk bisa mendidik peserta didiknya agar mempunyai sifat dan sikap yang santun, anggun dan bermoral. Dan guru dituntut untuk bisa melatih peserta didiknya agar terbiasa untuk disiplin, tidak putus asa dan bekerja keras.
Di sisi lain, dengan berubahnya sistem penilaian kelulusan peserta didik di SD/MI yang tidak lagi menjadikan nilai Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya patokan kelulusan peserta didik, diakui atau tidak telah meringankan beban peserta didik dan guru. Guru tidak lagi harus bersusah payah mengatur strategi agar semua peserta didiknya mendapatkan nilai yang tinggi dalam UN. Sebagaimana kasus di Surabaya, contekan masal yang digagas pihak sekolah yang akhirnya dibongkar seorang orang tua peserta didik. Dan banyak lagi kasus-kasus dimana pihak sekolah yang telah dengan sengaja mengatur contekan masal selama UN berlangsung sebagai usaha terakhir dalam mendongkrak nilai UN peserta didiknya.
 Apakah berubahnya sistem patokan penilaian kelulusan, yang sekarang juga mempertimbangkan nilai raport dari kelas 4 sampai 6, telah berhasil mengatasi masalah?
 Oh, tidak bisa. Justru timbul masalah baru. Bagaimana tidak, untuk mengantisipasi anjloknya nilai UN peserta didik, maka nilai raport peserta didik harus tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa Nilai Akhir = NS (40%) + UN (60%). Sedangkan NS = nilai rapor (40%) + US (60%). Disinilah masalah itu timbul. Kok bisa? Sekarang beban berat juga harus dipikul oleh guru kelas 4, 5 dan 6. Mereka harus mengupayakan nilai raport peserta didik mulai dari kelas 4 sampai kelas 6 harus baik. Mengantisipasi jika nilai UN mereka anjlok. Entah bagaimana caranya, pokoknya nilai raport harus bagus. Di-remidi, dikatrol, bahkan disulap. Emang guru sekarang juga tukang sulap?
Ironis, seolah budaya membangun kejujuran akademik dikesampingkan ketika guru harus, mau tidak mau, memberi nilai raport yang tinggi. Meskipun ada sich beberapa guru yang tetap perpendirian bahwa nilai raport peserta didik tidak boleh dikatrol ataupun disulap. Salut buat mereka. Itu adalah satu dari sekian ketidakjujuran guru dalam bidang akademik. Belum lagi mark up nilai raport peserta didik agar peserta didik dapat melanjutkan ke sekolah favorit, dan masih banyak lagi ketidakjujuran akademik yang terjadi.
Kelulusan, satu kata yang dinanti-nantikan jutaan siswa di seluruh Indonesia. Dan Sekolah berharap semua siswanya dapat lulus semua. Saat ini terjadi, ternyata tak seperti yang diharapkan. Kenapa?
Konvoi, pencoretan seragam, perkelahian, pesta tak sepantasnya, dan sebagainya menjadi hal “lumrah” di masyarakat kita saat ini saat kelulusan. Begitu kentaranya, hingga salah seorang rekan saya mempelesetkan SMP dengan Sekolah Menengah Perkelahian, PT dengan Pokoknya Tawuran, dan beberapa pelesetan lain. Sungguh tragis. Fenomena tadi digambarkan dengan sangat jelas. Saya tidak membahas pada aspek ekonomi dari tindakan pasca-kelulusan, namun saya membahas pada aspek sosial dan moralnya. Tindakan-tindakan tersebut sangat merugikan masyarakat sekitar, karena menimbulkan rasa tidak aman.
Kabar tingkat kelulusan 99 persen menurut saya adalah pertanda yang agak menyedihkan, karena UN dapat mendapat stigma berikut dari masyarakat:
1. Berbumbu nilai katrolan, dengan nilai sekolah sebagai salah satu penentu nilai akhir.
2. Soal dan standar kelulusan terlalu mudah, sehingga membuat kualifikasi siswa diragukan.
3. Zona kecurangan massal, dengan pengawasan yang (mungkin) kurang maksimal.
Tragis memang, kejadian ini ada di sekolah yang berwawasan keagamaan –dimana nilai-nilai kejujuran dan akhlak mulia diagungkan-.Padahal dulu, ketika anaknya hendak masuk sekolah ini, hampir semua orang tua menjawab angket yang diberikan sekolah berkaitan dengan ’harapan orang tua dengan memasukannya ke sekolah’ ini, sebagian besar orang tua menjawab ’ingin menjadi anak yang soleh dan pintar’.
Hari ini, orang tua siswa telah mengingkari sebuah ’kebenaran’ berupa nilai raport asli anaknya, dan memberi contoh yang tidak dengan sebuah ’kebohongan’ pada anaknya dengan pengajuan ”katrol nilai” pada sekolahnya. Ini adalah sebuah keinginan yang mulia dari orang tua untuk memasukan anaknya ke sekolah yang bagus, dengan cara ’mengorbankan’ karakter baik anak yang telah dibina di sekolahnya dan ’menggadaikan’ sebuah kebenaran dengan kebohongan...katrol nilai!!

1 komentar:

Jual Tanah mengatakan...

www.jualsewatanah.com

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com