Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Minggu, November 29, 2009

FILSAFAT EKSISTENSIALISME

Filsafat Eksistensialisme
Istilah filsafat eksistensi tidak mengacu kepada satu kelompok filsuf yang dapat merumuskan secara cermat. Tetapi telah terjadi suatu kebiasaan pemakaian kata-kata yang memberikan nama filsuf eksistensi kepada para filosofi.
Sudah pasti terdapat tanda-tanda pengenal yang dapat ditemukan pada para filsuf yang ada pertaliannya dengan mereka. Sebagai tanda pengenal formal ialah bahwa kata-kata “eksistensi” dalam hal ini tidak diambil dalam artinya yang klasik yaitu keberadaan, melainkan dalam arti cara berada manusia suatu pemakaian kata yang berasal dari Kierkegaard sebagai tanda pengenal material dapatlah dikatakan sebagai berikut: filsuf eksistensi mempersoalkan masalah ada dan dalam hal ini dipakai olehnya sebagai titik tolak “ada sebagai manusia” yang senantiasa berada dalam ketegangan anatara apa yang sudah tersedia dengan pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Tanda pengenal formal dan material ini bekerja bersama-sama mungkin dapat membedakan filsfat eksistensi dari aliran-aliran filsafat yang lain.
Namun kiranya hanya sesudah orang menangani tanda tanda-tanda pengenal ini akan menjadi jelas betapa aliran-aliran filsafat sepert ineothomisme, spiritualisme dan personalisme dalam perkembanganya kemanusian telah terpengaruh oleh filsafat eksistensi.
Dengan demikian filsafat eksistensi mengambil jarak baik terhadap idealisme yang mendewakan kebebasan manusia dengan jalan memandangnya sebagaisesuatu yang mutlak, maupun terhadap materialisme yang mengingkari kebebasan manusia atau merendahkan derajat manusia dengan jalan memandangnya sebagai gejala sampingan belaka.
Menurut filsafat eksistensi disinilah manusia mendapatkan ruang geraknya, yang juga merupakan cirinyadalam seluruh zaman modern: manusia membuat rencanadalam keadaan yang bebas ia selalu bergerak maju baik atas kekuatanya sendiri maupun atas dasar situasi yang actual.
Berdasar permainan dinamika kebebasan serta keadaan serba tertentu filsafat eksistensi mampu menunjukan sejumlah rautan yang didalamnya manusia dewasa in dapat menegnal dirinya sendiri.
Hal ini lebih dimungkinkan karena filsafat ini sekaligus juga senantiasa memandang manusia sebagai anusia perorangan, sebagai manusia konkret, dan dengan begitu tidak memandangnya sebagai sesuatu bentuk abstrak. Melainkan suatu kerangka penuh kemungkinan yang didalamnya dengan sifat perorangannya serta konkretannya dapat menempatkan dirinya.

Eksistensialisme Menurut Para Filosof
A.Sartre
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme, bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu iDari pihak Katolik, seperti Mlle. Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia Yang identik dengan filsafat kaum bourgeois. Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).

B.Jaspers
Di dalam bukunya philosophie (1932), Jaspers mengadakan pembedaan antara orientasi dunia, perpecahan eksistensial (Existenz-erhellung) dan metafisika. Setiap pencerahan eksistensial menghasilkan orientasi dunia. Metafisika hanya mungkin ada berdasar orientasi dunia dan pencerahan eksistensi. Orientasi dunia terjadi di dalam ilmu pengetahuan positif. Pengusahaan ilmu pengetahuan posittif merupakan syarat yang diperlukan untuk mengusahakan filsafat.
Disinilah orang menyentuh batas-batas ilmu pengetahuan positif. Dimana-mana timbul pernyataanyang tidak lagi dapat dijawab oleh ilmu yang bersangkutan, namun yang bagaimanapun menghendaki jawaban yang lebih lanjut.
Pencerahan eksisitensi sejak semula menghadapkan kita pada pernyataan-pernyataan kefilsafatan.
Pertama, apakah bereksistensi itu? Bereksistensi ialah mewujudkan diri sendiri di dunia dengan jalan itu sekaligus mengatasi dunia. Ada eksistensi dalam kemungkinan dan eksisitensi dalam kenyataan. Eksistensi dalam kemungkianan adalah keseluruhan syarat yang menyebabkan dapat terjadinya eksistensi dalam kenyataan.
Bereksistensi dalam kenyataan itu sendiri hanya tersedia pada saat-saat yang langka yang didalammanusia dapat sepenuhnya keluar diatas dirinya. Eksistensi dalam kemungkinan bukan merupakan masalah umum, seperti ilmu pengetahuan positif. Eksistensi harus diwujudkan oleh setiap orang dengan cara masing-masing yang berbeda-beda. Filsafat hanya mungkin menunjukan syarat-syarat umumnya. Eksistensi pertama-tama senantiasa bersifat kesejarahan (geschichtlich), artinya setiap orang ditentuka oleh situasi yang didalamnya ia hidup.
Situasi ini berbeda-beda bagi masing-masing orang. Tetapi tidak seorangpun merasa puas semata-mata dikuasai oleh situasinya. Ini menimnbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendapat kekuatan istimewa apabila manusia menyadari berada dalam salah satu situasi batas yaitu apabila ia dihadapkanpada perjuangan, kesalahan, penderitaan atau kematiaan hal ini dikarenakan adanya pertemuan (komunikasi). Pada dasarnya manusia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Hanya dalam pertemuan dengan manusia lain ia dapat menembus sampai pada pertanyaan-pertanyan terdalam mengenai diri sendiri.
Secara demikian orang melangkah ke bidang metafisika. Metafisika berbicara tentang mengenai transendensi, yaitu keluarnya manusia diatas dirinya sendiri dan dunia. Transendensi ini terjadi ketika manusia benar-benar bereksistensi. Hal ini dapat terjadi melalui beberapa cara. Transendensi formal ialah seraya berpikir mengatasi hal-hal yang dapat dipikirkan. Cara selanjutnya ialah menyadari berada dalam situasi batas dan menyimak bahwa berhubungan yang transenden artinya berhubungan dengan sesuatu yang mengatasi manusia dan dunia.
Yang transenden sendiri tidak dapat diperkatan namun dapat ditunjukan dengan pemakaian istilah “Tuhan”. Pada Jaspers gagasan mengenai Tuhan ini semakain lama berkembang kearah teistik.

C.Heidegger
Di dalam bukunya Sein und Zeit (1927) Heidegger mempermasalahkan ada. Untuk dapat mengetahui apakah yang dimaksud oleh pernyataan ini, pertama-tama haruslah dibahas siapakah manusia yang mengajukan pertanyaan tersebut.
Manusia ternyata merupakan makhluk yang menyatu dengan dunia yang menghadapi benda-benda diduniaserta berbuat, merasa, berkehendak serta berpikir seprti halnya orang yang berbuat, merasa, berkehendak serta berpikir.
Karena kesibukannya dengan dunia serta dengan manusia-manusia lain yang ikut ambilbagian di dalamnya, maka cirri pengenal terbaik dari manusia (das dasein) ialah suatu kerepotan.
Begitulah keadaan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Demikianlah ia mempunyai pengertian tertentu mengenai ada. Tetapi pengertian ini bersifat pra-kefilsafatan, pengertian ini telah terkandung dalam segenap perbuatannya namun tidak diperkembangkannya secara tematik.
Maka timbullah pertanyaan hal yang terakhir mungki akan terjadi? Apakah manusia tidak terkeurung sedemikian rupa dalam kehidupannya sehari-hari? Sehingga tidak mampu lagi untuk hidup secara lain.
Hal ini terjadi bila ada keharuan khusus yang menyentakan manusia dari keadaanya sehari-hari. Heidegger menyebutkan berbagai keharuan ini antara lain kegembiraan dan keresahan. Didalam Sein und Zeit arti keresahan dikembangkan lebih lanjut yaitu keresahan menimpa manusia secara tiba-tiba. Kata ini tidak sama dengan ketakutan yang senantiasa ada penyebabnya tertentu.
Bagi keresahan tidak ada penyebabnya yang dapat ditunjukan: manusia resah terhadap apa yang tiada. Justru keadaan ini menggambarkan bahwa dalam keresahannya manusia menghadapi yang tiada seluruh kesibukannya hilang yang tersisa hanyalah yang tiada.
Yang tiada meniadakan yang ada: artinya yang tiada memperlihatkan tidak pentingnya segala yang ada serta segala kesibukan manusia. Demikianlah manusia menyimak bahwa dirinya sendiri tidak penting dan secara demikian menyimak bahwa dirinya ada dalam arti kata yang sebenarnya.
Filsafat Heidegger terkadang sebagai filsafat eksistensi dilawankan terhadap filsafat eksistensi Jespers. Maksud pembedaan peristilahan ini ialah bahwa Heidegger menyingkapkan struktur eksistensi keadaan diri manusia sedangkan filsafat Jespers seperti halnya pemikiran Kierkeggard dan Neitzsche hendak merupakan imbauan kepada manusia agar menyadari dirinya sendiri.
Yang demikian ini hanya dapat terjadi pada setiap orang menurut caranya bereksistensi sendiri-sendiri artinya menurut carana bereksistensinya seorang demi seorang.
Meskipun Heidegger hendak mendekskripsikan struktur ontologik yang berlaku umum namun ia senantiasa menekankan bahwa bereksistensi selalu berarti bereksistensinya manusia orang0seorang yang kongkret.

D.Marcel
Marcel mengungkapkan pikiranya dalam bentuk buku hariannya atau pembahasan-pembahasan mengenai tema-tema khusus. Ia tidak pernah berusaha menyusun suatu sistem. Ia khawatir bahwa suatu sistem akan memalsukan pemikiran.
Usahanya berfilsafat senantiasa berupa pengajuan pertanyaan mengenai hakekat manusia baik didalam Gifford Lectures,Le Mystere de I’Etre (1951), maupun didalam journal methaphysique.
Dalam hasil karya tersebut ternyata betapa masalah-masalah mengenai manusia, dunia, ada dan Tuhan tidak dapat dipisah-pisahkan. Hakekat manusia tidak dapat dipahami secara bertunggal makna, karena justru tanda pengenalnya yaitu bahwa hakikatnya tersebut terbentuk dalam suasana kebebasan yang serta merta.
Yang demikian ini tidak berarti bahwa manusia pada hakekatnya ada hanya seorang diri, melainkan sebaliknya ia hanya ada sebagai yang ada di dunia (entre au monde).
Didalamnya ia senantiasa berada didalam suatu situasi yang ditentukan oleh segi keragawiannya. Namun situasi tidak sekali ditetapkan tanpa dapat diubah lagi melainkan juga dipengaruhi manusia yang berbuat. Di dunia manusia berjumpa dengan manusia lainnya terhadap mereka ia dapat mengambil dua macam sikap yang berbeda. Manusia lain ini dapat merupakan obyek baginya seperti halnya sebuah benda: Dalam hal itu baginya manusia yang lain sekedar merupakan suatu dia (lui).
Tetapi baginya manusia yang lain sekedar merupakan suatu kehadiran (presence): dalam hal ini baginya ia erupakan suatu dikau (toi). Sesungguhnya aku tebentuk terutama oleh hubungan aku dan dikau.
Di sini yang bersifat menentukan ialah sifat percaya. Manakala aku mempercayai orang lain dan aku sendiri dapat dipercaya oleh orang lain, maka aku mencipta ada-ku sendiri (fidelite creatrice).Ternyata bahwa pada akhirnya sikap percaya ini hanya mungkin ada karena setiap dikau merupakan bagian dari dikau (Tuhan) yang mutlak.
Sesungguhnya setiap manusia dapat mempunyai kekurangan, namun Tuhan tidak pernah berkekurangan. Maka dalam babak terakhir sikap percaya yang mencipta berarti turut ambil bagian dalam karya Tuhan yang mencipta.
Dengan demikian ikut ambil bagian ini tidaklah bersifat pasif melainkan bersifat aktif ia senantiasa berupa keadaan manusia yang melibatkan diri (engagement).
Semuanya menunjukan bahwa pemikiran kefilsafatan sama sekali berbeda sifatnya daripemikiran ilmiah positif. Pemikiran ilmiah positif mengajukan problema-problema artinya mengajukan persoalan-persoalanyang pada dasarnya dapat dipecahkan dan yang karenanya akan lenyap setelah pemecahannya ditemukan.
Sementara itu pemikiran kefilsafatan menghadapi misteri-misteri artinya menghadapi masalah-masalah yang memang dapat disoroti dan seraya melakukannya kita dapat senantiasa mendalaminya namun yang tidak dapat dipecahkan sehingga seterusnya sebagai masalah akan lenyap untuk selama-lamanya.
Masalah-masalah kefilsafatan mau tidak mau akan selalu terulang pada setiap kurun waktu dalam sejarah dengan gaya baru masalah-masalah tersebut akan muncul kembali dan dihadapkan kepada setiap manusia secara sendiri-sendiri.

E.Emanuel Levinas
Filsafat Emanuel Levinas dalam sejumlah hal bertautan dengan filsafat Marcel, khususnya yang menyangkut hubungan-hubungan serta latar belakang keagamaan. Gaya berpikir Levinas berkembang sepenuhnya didalam hasil karyanya yang besar yaitu Totalite et Infini (1961).
Seperti halnya Marcel ajaran Levinas juga terarah kepada cara bereksistensi manusia yang meneggejala secara konkret. Ada manusia tidak pernah dapat ditangkap sebagai suatu kebulatan (totalitas), karenatidak pernah dapat di obyektivasikan sepenuhnya.
Alam sebagai obyek-obyek dapat ditangkap sebagai kebulatan: manusia tidak dapat ditangkap secara demikian karena justru subyektivitasnya menyebabkan ia idak berhingga. Subyektivitas ini tampak pada air n\muka manusia isa tidak dapat ditangkap dengan menggunakan pengertian, melainkan terlihat dalam percakapan.
Perenungan mengenai subyektivitas ini menyebabkan ajaran Levinas merupakan filsafata kebersamaan, karena diluar kebersamaan tidak mungkin ada subyektivitas. Tetapi sebaliknya kebersamaan sekedar merupakan impian kosong belaka, bila ia tidak dapat menghormati subyektivitasnya serta kedalaman diri seseorang “Apabila politik dibiarkan sendirian maka ia sudah mengandung benih tirani.
Yang demikian ini merupakan tidak berarti menghilangkan kenyataan serta hak sendiri yang dipunyai secara hakiki oleh kebersamaan. Model bagi kebersamaan ialah keluarga, yaitu tempatt bertemunya subyektivitas dan obyektivitas secara saling menghormati.

F.Merleau Ponty
Didalam bukunya phenomenology de la perception [1945] merleau ponty mencoba untuk menarik kesimpulan-kesimpulan berdasar keadaan manusia sebaga kesadaran didunia. Manakala manusia sebagai kesadaran benar-benar mengarah kepada dunia melalui raganya ,maka pastilah ada kesatuan jiwa-raga didalam diri manusia ,yang pasti terdapat pula pada setiap perbuatanya. Dengan demikian berate dalam batas-batas tertentu kesadaran senantiasa bersifat ragawi dan dalam batas-batas tertentu raga selalu bersifat kejiwaan.
Dalam hubungannya dengan metode penyelidikan kefilsafatan, hal ini berate bawah baik emperisme yang semata-mata mengenal pengamatan secara murni inderawi maupun rasionalisme yang hanya mengenal pembentukan pengertian serta penjabar secara akali harus ditolak karenanya haruslah digunakan metode fenomenologi untuk memeperlihatkan fenomena manusia dalam bentuk penampilannya diantaranya yang paling murni.
Maka yang pertama-tama akan tampak ialah bawah manusia tidak terungkap sebagai obyek maupun sebagai kesadaran semata-mata, melainkan sebagai sesuatu bentuk ada yang khusus, yang didalamnya kesadaran serta keragawiannya merupakan aspek-aspeknya.
Merleau Ponty menunjukan hal ini teruatam dibidang pengamatan karena pengamatan sesungguhnya mengandaikan pemakaian indera dan sekaligus kesadaran. Tidak mungkin ada pengamatan manusia secara khusus begitu pula tidak ada pemikiran manusiawi tanpa salah satu bentuk pengamatan.
Kesatuan antara pemikiran dengan pengamatan ini menunjukan struktur antalogik manusia . Semasa hidupnya yang terhampar dalam kerangka waktu,manusia senantiasa sebagai idaman didepan matanya, namun yang ada didalam kerangka waktu tidak mungkin terjelma.

G.Kierkegaard
Soren Abye Kierkegaard adalah nama lengkap filsuf denmark yang kemudian terkenal dengan julukan S.K. Ia dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal pada tanggal 11 November 1855.
Dai melancarkan pendapatnya ahwa hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana kita pikirkan melainkan sebagaimana kita hayati. Makin mendalam kita menghayati terhadap suatu hal kehidupan maka makin bermaknalah kehidupan tersebut.
Terhadap kecenderungan tersebut Kierkegaard menyatakan tantangannya. Bagi S.K. yang demikian itu dipertahankan demi keobyektifan akan tetapi bukankah yang lebih penting mengakui kenyataan bahwa pangkal tolak segala pengamatan adalah manusianya yaitu manusia sebagai suatu kenyataan subyektif.
Dalam Either itu S.K. untuk pertama kalinya mengajak kita untuk menjalani eksistensi kita sebagai manusia, masing-masing dengan subyektifitasnya. Bagi S.K. manusia yang kongkret dan nyata adalah yang individual dan subyektif bukan apa yang dipukul rata obyektif.
Manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya tak pernah ia mantap dan sempurna.
Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi,pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk. Kemudian ia menempatkan dirinya di salah satu pihak yang baik atau yang buruk.
Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini sebenarnya ia tidak menjalani eksistensinya yang ada artinya karena untuk memilih dan membuat keputusanitu manusia bebas. Artinya ia harus mampu mempertanggung jawabkan justru oleh kesediaannya bertanggung jawab ini maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula.
Dengan demikian semua tindakan didukung oleh suatu sikap etis yang tidak terlepas dari tanggung jawab sehingga orang itu menurut S.K. telah melampaui suatu eksistensi yang sekedar terletak pada sarat estetis belaka, sebagaimana ia digambarkan oleh sosok Don Juan yaitu suatu taraf yang terutama ditandai oleh hasrat yang tidak habis-habisnya untuk dipuaskan.
Sikap estetis itu bukanlah harus ditiadakan melainkan harus ditingkatkan lebih tinggi lagi yaitu ke taraf etis itu. Transfigurasi nilai-nilai estetika taraf etis itu memungkinkan lebih langgenya nilai-nilai tersebut.
Kepercayaan terhadap Tuhan adalah suatu tindakan transendental yang dimungkinkan karena Tuhan memberikan kesempatan pada manusia untuk mengatasi dirinya menghadap kepadanya.
S.K. menganggap sis-sia usaha orang-orang yang membutikan ada tidaknya Tuhan. Usaha demikian itu adalah spekulasi abstrak belaka suatu ikhtiar logis yang diarahkan pada sekedar mencari pengeahuan tentang Tuhan,padahal jalan menuju Tuhan tidak mungkin ditempuh melaluilogika yang abstrak,melainkan harus didasarkan pada penghayatan subyektif.
Kedekatan dengan dengan Tuhan adalah penghayatan yang eksistensial. Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif. Adanya Tuhan berdasarkan kapercayaan dan kepercayaan terhadap Tuhan tidak bisa dilakukan melalui obyektifitasi seseorang.
Makin seseorang mendekati kesempurnaan makin ia membutuhkan Tuhan. Taraf eksistensi yang estetis ditingkatkan sampai ke taraf etis dan pada taraf etis ini manusia tidak menyelesaikan suatu masalah persoalan dengan kepastian. Eksistensi pada taraf kedua ini masih dihadapkan pada penghayatan kecemasan karena ketiadanya kepadtiaan.
Dalam tinjauan S.K. taraf etis merupakan taraf transisi yaitu taraf peralihan menuju taraf yang lebih tinggi.
Pada taraf ini manusia tampil dengan kesejatianya sebagai pribadi yang tunggal menghadap Tuhan.

H.Nietzsche
Frederick Wilhelm Nietzsche dilahirkan di Rocken, Prusia pada tanggal 15 Oktober 1844. Tanggal lahir ini merupakan moment baginya dan mempunyai makna yang besar bagi kehidupannya karena bertepatan dengan tanggal lahirnya Frederick Wilhelm IV raja Prusia yang dikaguminya. Ia meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900 di Weimar.
Ia menganggap bahwa kalau dalam hidup ini yang kuatlah yang menang, kebijakan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Oleh karena itu apa yang dinyatakan sebagai kebajikan atau apa yang dianggap baik haruslah kuat sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah.
Dapat diduga apa jadinya apabila asas demikian itu diperkembangkan dalam kehidupan susila. Nietzsche dapat merupakan contoh yang paling nyata dari filsafat yang menekankan logika kekuatan dan bukannya kekuatan logika.
Dalil ini menurut Nietzsche harus berlaku baik dalam pergaulan manusia maupun dalam pergaulan antar bangsa. Ia pun sangat mengaggumi ucapan Bismarck yang menegaskan bahwa “tak ada altruisme dalam pergaulan antar bangsa”.
Masalah-masalah yang timbul ini dalam pergaulan antar bangsabukanlah harus diselesaikan dengan jalan perundingan, pemungutan suara ataupun retorika melainkan oleh darah dan baja.
Oleh karena itu perang adalah gejala yang wajar dan menentukan bangsa mana yang bisa bertahan dan bangsa mana yang harus menerima kekalahan. Menurut Nietzsche pikiran-pikiran persamaan derajat antara manusia atau antarbangsa adalah satu hal yang mustahil dan bertentangan dengan kodrat alam.
Dalam pergaulan anatar manusia yang harus ditumbuhkan adalah manusia-manusia unggul, Ubermensch atau Superman yaitu mereka yang oleh kekuatannya dapat mengatasi kumpulan manusia dalam massa. Yang harus dijadikan tujuan dalam kehidupan manusia ialah bagaimana menjelmakan manusia-manusia besar yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani.
Bagi manusia yang penting ialah bagaimana ia mampu mengangkat dirinya dari kehanyutan massa. Masyarakat haruslah sekadar merupakan wahana yang memungkinkan terjadinya kristalisasi manusia-manusia agung itu. Betapapun kejam kedengarannya, rumus inilah yang menurut Nietzsche sesuai dengan kodrat alam.
Nietzsche bahkan mengusulkan suatu yang drastic untuk melhirkan manusia-manusia unggul tersebut antara lain dengan jalan eugenika serta memberikan pendidikan-pendidikan yang istimewa kepada mereka yang cerdas dan kuat.
Akan tetapi Nietzsche menegaskan bahwa kecerdasan saja tidak cukup untuk menumbuhkan seorang yang unggul. Manusia unggul hanya ditumbuhkan oleh gabungan yang harmonis antara tiga hal: kekuatan, kecerdasa dan kebanggaan.
Sehubungan dengan jalan pikiran itu, Nietzsche menganggap perlu adanya sistem aristokrasi. Bukan suatu aristokrasi yang berdasarkan ketemurunan, melainkan suatu aristokrasi yang dipimpin oleh manusia-manusia yang memenuhi syarat-syarat keunggulan itu. Ini tidak berarti bahwa manusia-manusia sederhana tidak mempunyai tempat dalam masyarakat.
Mereka mempunyai tempatnya sendiri yang sesuai dengan kodratnya yang pasti mereka tidak boleh didudukan di puncak pimpinan. Sejarah kemanusiaan dimana sja telah membuktikan bahwa masyarakat manusia terdiri dari golongan yang memimpin dan mereka yang menerima pimpinan tersebut. Hanya pimpinan yang kuat, cerdas dan bangga yang dapat diandalkan oleh masyarakat.
Pimpinan yang demikian itu akan berani membawa pengikutnya dalam peperangan. Hal ini perlu sebab bahwa bangsa yang sudah terlalu lama menikmati keadaan tentram dan damai akan kehilangan keberaniaanya untuk berperang. Mayarakat yang kehilangan keberanianya untuk berperang serta tekad untuk menaklukan lawan adalah masyarakat yang nyata-nyata matang untuk demokrasi.
Menurut Neitzsche demokrasi adalah suatu gejala yang menunjukan bahwa suatu masyarakat sudah menjadi busuk sehingga tidak mampu lagi melahirkan pemimpin-pemimpin yang agung. Demokrasi adalah suatu pemerintahan kaum dagan semata. Demokrasi adalah suatu maniak belaka tempat setiap orang sempat bersaing sambil berteriak sama rasa sama rata padahal manusia bersaing justru karena mereka berebda-beda.
Demokrasi mementang kenyataanya bahwa kodrat alam adalah diferensiasi. Peradaban manusia dapat ditumbuhkan apabila seperti piramida.

I.Berdyaev
Nicholas Alexandrovitch Bedyaev dilahirkan di Kiev pada tanggal 6 Maret 1874. Dari pihak ayahnya ia keturunan bangsawan yang terutama tergolong kaum militer.
Bagi berdyaev manusia tidak semestinya dihampiri sebagai suatu konsep belaka; manusia hanyalah dapat dipahami sebagai pribadi yang hidup. Berdyaev berpendapat bahwa msnusia adalah makhluk yang kompleks dan ditandai oleh sesuatu dualisme dasar yang tidak bisa disangkalnya yaitu disatu pihak ia adalah hasil dari alamnya.
Jadi di satu pihak kita menemui manusia sebagai makhluk spiritual tetapi ia pun merupakan bentukan alamiah dan kedua segi ini menjadi satu dalam diri manusia itu sebagai pribadi individual.
Kedua segi ini selalu berada dalam dalam pertentangan sengketa anatar kedua segi tersebut membuat manusia ibarat suatu medan sengketa yang tak selesai-selesainya. Dengan demikian menurut Berdyaev manusia itu merupakan mikrokosos –suatu dunia kecil yang ada pada sendirinya-. Akan tetapi sebagai makhluk Tuhan ia pun bisa diibaratkan sebagai mikroteos.
Manusia sebagai makhluk spiritual adalah bebas sedangkan hasil ilmiahnya ia menghayati keharusan-keharusan. Kebebasan itu dibatasi oleh keharusan-keharusan tersebut. Bagi Berdyaev yang menjadi soal ialah bagaimana manusia menghayati eksistensinya dalam kebebasan dan bagaimana ia mengatasi paradoks yang dihayati manusia agar ia mampu mencapai kebebasan eksistensi pribadi.
Untuk menanggapi masalah ini Berdyaev menyoroti empat hal. Pertama ialah determinisme alam sebagai hukum yang mengenai manusia juga. Untuk bertahan sebagai makhluk yang hidup, maka manusia dihadapkan pada keharusan-keharusan yang dianut oleh alam demi kelanjutan hidupnya.
Betapapun taraf-taraf perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan alamiahnya tersebut manusia tidak akan mungkin membebaskan dirinya sepenuhnya dari keharusan-keharusan yang harus dihadapinya itu.
Yang kedua ialah kenyataan bahwa manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Hal ini menjelma sebagai kehidupan masyarakat. Oleh karena keharusan ini maka manusia pun endapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya melalui kehidupan bermasyarakat.
Berdyaev bahkan menganggap bahwa keharusan yang dikenakan oleh kehidupan bermasyarakat ini lebih terasa pada manuisa dibandingkan dengan keharusan yang ditimbulkan oleh kodrat alamiahnya. Bagi Berdyaev kehidupan masyarakat itu selain memperkaya manusia juga memperbudaknya. Masyarakat bisa memperkaya manusia bilamana ia sadar bahwa tujuan hidupnya bukanlah menjadi makhluk sosial, melainkan menjadi makhluk spiritual.
Berdyaev menentang pendapat yang menyatakan bahwa masyarakat adalah juga organisme sehingga keharusan yang dituntut oleh masyarakat sebenarnya adalah keharusan sebagaimana dikenakan oleh alam terhadap manusia. Masyarakat sebagai organisme adalah suatu ilusi belaka. Menurut Berdyaev bukan masyarakat yangmerupakan organisme melainkan manusia.
Perkara ketiga yang menyebabkan kekekangan terhadap kebebasan eksistensial bagi manusia adalah peradaban. Sebelumnya harus dicatat bahwa Berdyaev menegaskan beda antara istilah perdaban dan kebudayaan. Baginya perdaban merupakan perwujudan dari ikhtiar manusia untuk menaggapi keharusan-keharusan yang dituntut oleh alam. Peradaban adalah karya manusia sendiri untuk memenuhi tuntutan alamiahnya yang harus dihadapinya. Kebudayaan juga merupakan karya manusia, tetapi hal ini berhubungan dengan kebutuhan spiritualnya.
Akibatnya tidak mampunya lagi manusia menegndalikan peradabanya karena makin berkuasanya mesin, maka dengan peradaban teknologi modern manusia pun terancam kehancuran oleh alat-alat ciptaanya sendiri. Oleh karenanya peradaban modern terus-menerus dihayatinya dengan ancaman serta ketidak pastian eksistensial.

0 komentar:

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com