Emile Durkheim
A.Kesakralan Masyarakat
Ide tentang masyarakat adalah roh agama.
Durkheim , The Elementery Forms of Religious Life
Seorang pemikir orisinil Perancis bernama Emile Durkheim, membangun sebuah teori yang revolutif tentang agama. Durkheim adalah nama yang pertama kali muncul saat membicarakan sosiologi, walaupun tidak sepopuler psikologi-nya Freud, Durkheim mengutamakan arti penting masyarakat- struktur, interaksi dan institusi social dalam memahami pemikiran dan prilaku manusia., Durkheim juga mengklaim tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu maka tak satu pun yang akan muncul dalam kehidupan kita.
Sepintas lalu, tentu saja teoritikus yang mengendepankan tema social ini tidak terlalu revolusioner. Sebab dalam suasana pemikiran sekarang, beberapa diskusi mengenai banyak hal muncul tanpa merujuk pada “lingkungan social” hamper tiap hari tanpa komentar tentang “kebobrokan social”, “pengaturan social”, “reformasi social” atau “konteks social”. Lebih kurang seabad lalu, istilah tersebut sangat jarang terdengar, tidak sefamiliar sekarang. “Masyarakat” (society) adalah sebuah kata yang lebih dulu lebih sering dimaknai dengan gaya dan pesta makan orang-orang elit. Sistem pemikiran yang dominant adalah individualistic, dengan kecenderungan melihat tatanan social mulai dari sebuah keluarga hingga sebuah desa, sebuah gereja atau seluruh bangsa tidak lebih sebagai kumpulan pada satu tempat dengan berbagai kepentingan.
Pandangan Durkheim tentang hal ini jelas berbeda. Ia lebih jauh mengatakan bahwa fakta social jauh lebih fundamental dibanding fakta individu bahwa fakta social sama nyatanya dengan fakta fisik dan individu sering dasalahpahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya. Bagaimana pun juga, manusia bukan hanya individu an sich, tetapi selalu dimiliki oleh sesuatu yang lain orang tua, sanak saudara, kota, suku, partai politik,tradisi etnis atau kelompok lainnya. Dalam pandangan Durkheim adalah sia-sia belaka apadila kita menganggap mampu memahami apa sebenarnya individu itu, jika hanya dengan mempertimbangkan insting biologis, psikologi individu atau kepentingan pribadi yang terisolasi. Kita harus menjelaskan individu melalui masyarakat dan menerangkan masyarakat dalam hubungan social.
Atas dasar pikiran social ini, Durkheim dan Freud sama-sama menegaskan bahwa bidang kajian mereka membutuhkan disiplin ilmiah baru untuk menyelidikinya. Durkheim memilih nama” Sosiologi” untuk bidang tersebut, meskipun ia bukan orang yang pertama menemukannya. Pada awalnya, penger tian sosiologi hanyalah ilmu yang mengaji masyarakat dan pengaruh Dukheimlah yang menyebabkan sosiologi mendapat tempat dalam kehidupan modern, mulai dari masalah pemerintahan, ekonomi, pendidikan, atau pun forum-forum diskusi umumyang lain, mulai dari kampus sampai acara taikshow di televisi.
Durkheim merasakan hal yang sama dalam usahanya memahami masyarakat dengan keseluruhan dimensinya yang sangat banyak dan tersembunyi. Durkheim selalu terseret kedalam agama, baginya agama dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, bahkan keduanya saling membutuhkan satu sama yang lain.
B.Ide-Ide Dan Pengaruhnya
Ide-ide Durkheim sebenarnya adalah pengembangan dari pikiran-pikiran mereka ini. Salah satu disertai Durkheim membahas pemikiran Baron de Montesqueieu, ia seorang filosof Perancis abad ke-18 yang mengamati dan menganalisa budaya dan institusi politik Eropa dengan cermat. Karyanya membuktukan bahwa struktur social bisa diamati dengan metode kritik ilmiyah. Dalam pola ini pemikiran manusia pertama kali dikendalikan oleh teologi, kemudian ole hide abstrak para filosof dan akhirnya disempurnakan oleh era positivistic atau saintifik sekarang ini, dimana hanya kajian dan pengamatan mendalam terhadap fakta yang jadi kunci semua pengetahuan.
Maka semenjak era ilmu pengetahuan ini, humanitas tekah menggantikan agama, dan filsafat masa lalu sudah dikesampingkan, Durkheim akhirnya menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan terikat kepada satu komunitas.
Pada akhir tahun 1800-an Perancis dan Eropa telah mengalami revolusi besar. Awalnya adalah revolusi indusrti (ekonomi) dan kemudian revolusi politik di Perancis . Menurut Durkheim, kedua peristiwa ini telah merubah peradaban Barat secara permanent. Stabilitas Eropa masa itu dibentuk berdasarkan kehidupan masyarakat petani, system pembagian kelas social yang mapan, kepemilikan berdasarkan aristokrasi dan monarki, serta ikatan yang kuat antara masyarakat kota dan desa, ditambah dengan lingkungan kepercayaan, tradisi dan struktur gereja Kristen. Perubahan tersebut sama sekali baru dan berbeda, yang menyebabkan perpindahan masyarakat ke daerah pabrik dan kota-kota, bergesernya kekayaan dari tangan para bangsawan ke tangan pedangang dan penguasaha, kekuasaan beralih dari hak istimewa kelas lama kepada gerakan radikal. Agama masyarakat menjadi kacau, dalam ungkapan yang agak spesifik, Durkheim membagi kondisi saat itu menjadi empat pola:
Pertama, tatanan social masyarakat Eroa tradisional yang terikat oleh tali kekeluargaan, komunitas dan agama digantikan dengan munculnya “kontrak social” baru dimana individualisme dan kepentingan pragmatis kelihatan lebih berkuasa.
Kedua, dalam hal prilaku dan moral, nilai-nilai sacral dan keyakinan keagamaan yang disetujui oleh gereja sekarang ditantang oleh kepercayaan baru yang lebih menekankan rasionalitas.
Ketiga, di bidang politik, munculnya masa demokratis dalam masyarakat arus bawah dan pusat pusat kekuasaan yang kuat di arus atas telah mengubah kontrol social alami masyarakat.
Keenpat, dalam urusan pribadi, kebebasan individual yang terlepas dari paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar dengan resiko yang tidak ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri, meskipun juga selalu dibayangi oleh ancaman serius, yaitu perasaan kesepian dan terisolasi.
C.Sosiologi dan Masyarakat
Durkheim merasa hanya ada satu cara untuk mengamati perubahan masyarakat secara ilmiah hanya sosiologi. Karena sosiologi bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang bergerak di atas kaki mereka sendiri. Ada dua cara untuk mengamati perubahan masyarakat secara ilmiah yaitu pertama sifat alami masyarakat adalah objek penyelidikan sistematik yang paling cocok dan menjanjikan khususnya dalam sejarah saat ini. Kedua semua fakta social harus diinvestigasi melalui metode ilmiah seobjektif dan semurni mungkin.
D.Sifat Alami Masyarakat
Durkheim didalam bukunya yang berjudul Division of Labour memperlihatkan betapa mudahnya seseorang terjerumus kedalam kesalahpahaman karena tidak mengindahkan prinsip pertama yakni “kehidupan social telah membentuk corak-corak paling mendasar dalam kebudayaan manusia.
Sayangnya para pemikir tidak memperhatikan hal itu. Mereka hanya bisa mempertimbangkan masalah ini hanya sebatas ide, seperti halnya kontrak social yang menyatakan bahwa masyarakat tercipta pertama kali dari dua individu yang sepakat untuk bekerja sama. Seseorang akan mengatakan, “saya akan melakukan ini, jika anda melakukan itu”. Bila seseorang yang jadi lawan bicara sepakat, maka lahirlah sebuah masyarakat.
Durkheim mengatakan bahwa dalam sejarah manusia yang riil hal yang sama tidak bisa ditemukan. Bahkan dalam masyarakat prasejarah sekalipun, seorang individu yang dilahirkan ke dunia langsung mendapati kelompok-kelompok, keluarga, suku-suku, bangsa-bangsa dan tumbuh di dalam konteks kelompok tersebut. Bahasa, kebiasaan, kepercayaan dan respons emosional mereka bahkan yang sifatnya sangat pribadi sekalipun selalu muncul dari kerangka pandangan social yang telah membantu mereka berkembang semenjak lahir ke dunia ini.
Sebagai contoh kontrak social, masyarakat purba selalu terikat dengan sumpah-sumpah sacral keagamaan yang memperlihatkan bahwa setiap kesepakatan yang terbentuk antara mereka bukan hanya ikatan antara dua belah pihak, tapi juga melibatkan campur tangan dewa didalamnya, sebab yang akan merasakan akibat dari kesepakatan tersebut adalah seluruh anggota masyarakat. Contoh lain adalah konsep kepemilikan pribadi. System kepemilikan yang pertama kali muncul bukanlan bersifat pribadi, melainkan komunal dan berlandaskan sesuatu yang sacral, yakni masyarakat menganggap semua kepemilikan tersebut tidak dikuasai oleh para pendeta atau orang-orang secara pribadi tapi oleh suku secara keseluruhan. Maka ide tentang kepemilikan sesuatu harus bersifat pribadi yang dimiliki secara perorangan atau segelintir orang muncul yang melenceng dari pengertian public adalah sesuatu yang sacral bagi seluruh klan.
Menurut Durkheim, perbedaan mendasar antara masyarakat purba dengan masyarakat modern adalah usaha masyarakat purba untuk selalu mewujudkan kesatuan. Sebagai contoh studi tentang tatanan hokum mereka memperlihatkan kecenderungan masyarakat purba selalu bergerak dalam “solidaritas mekanik”. Perilaku yang baik dan benar dijamin keberadaannya oleh hukum-hukum yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berani melanggar aturan-aturan moral yang telah ditetapkan oleh kelompok. Dan hal ini merupakan kekuatan eksternal untuk menegakkan hukum.
Di lain pihak, bagi masyarakat modern, “solidaritas mekanik” ini mengalami perubahan bentuk, karena dalam masyarakat modern terdapat pembagian kerja, lain orang lain pula pekerjaannya. Pandangan terhadap aturan moral pun juga berkembang dengan cara yang lain. Moral tidak muncul di bawah baying-bayang hukuman, tapi kenyataannya bahwa setiap orang selalu bergantung kepada yang lain. Disini kekuatan penegakkan hokum muncul dari dalam (internal). Perbuatan salah yang dilakukan seseorang harus dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu orang lain tempat dimana kebutuhannya bergantung.
Masyarakat purba juga memiliki “kesadaran kolektif” yang kuat dan luas. Di dalam kesadaran ini terdapat satu kata sepakat tentang ketentuan yang benar dan salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sebaliknya dalam masyarakat modern yang menentukannya adalah moral individualisme. Mereka tetap membutuhkan sebuah landasan, basis moral bagi seluruh masyarakat. Namun karena kebebasan dan perbedaan individu lebih diutamakan, maka cakupan “kesadaran kolektif” lebih kecil dibandingkan masyarakat purba. Kesadaran tersebut hanya terbatas pada beberapa bentuk hokum dan aturan moral saja.
Durkheim menyakini bahwa moralitas yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama. Bahkan moralitas dan agama juga tidak dapat dipisahkan dari kerangka social. Kita tidak akan bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks social, sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas pun akan berubah. Ketika sebuah masyarakat, khususnya barat telah meninggalkan kesadaran kolektif mereka seperti yang dimiliki oleh masyarakat primitive dan kemudian digantikan oleh moral individualistic yang dibawa oleh system pembagian kerja, maka kita tidak perlu heran kenapa dalam peradaban barat saat ini hak yang dimiliki agama dan moral telah berubah seiring dengan perubahan tatanan social tersebut.
E.Studi ilmiah tentang Masyarakat
Durkheim dalam bukunya The Rule of Sociological Method (1895) menjelaskan bagaimana sosiologi seharusnya diterapkan seobjektif mungkin dan dijadikan ilmu yang benar-benar independent. Ia juga menegaskan bahwa fakta social sama “riil” dan sama “padat” nya dengan kedua benda tersebut. Sebuah masyarakat bukan hanya sekedar sekelumit pemikiran yang ada dalam kepala seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian banyak fakta mulai dari bahasa, hokum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik sampai kepada aneka jenis produk yang dihasilkan masyarakat tersebut. Semua itu saling terkait satu sama lain dan keberadaannya merupakan sesuatu yang bersifat “eksternal” dari pikiran manusia. Kita tidak bisa membayangkan bahwa kita mampu menjelaskan satu makhluk hidup hanya dengan menjelaskan aspek fisis dan kimianya tetapi kita juga membutuhkan disiplin biologi. Oleh sebab itu kita tidak bisa menjelaskan masyarakat hanya dengan mempergunakan satu disiplin ilmu melainkan banyak disiplin ilmu.
Menurut Durkheim kunci untuk memahami setiap ilmu, baik ilmu social maupun alam terletak pada pengumpulan bukti diikuti dengan perbandingan, pengelompokkan dan diakhiri dengan penarikan sebuah kesimpulan umum atau hokum yang setiap saat bisa dibuktikan validitasnya.
Durkheim mengatakan bahwa buku The Golden Bough belum bisa dikatakan ilmiah walaupun disusun berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan, karena buku tersebut hanya berdasarkan kesamaan-kesamaan yang dapat ditemukan dan sangat sedikit sekali yang menyinggung substansi permasalahannya. Sosiologi sadar bahwa perbandingan hanya dilakukan dan akan menghasilkan sebuah hukum umum jika dua masyarakat diamati dari dekat dan sama-sama memiliki beberapa tipe kesamaan umum.
Dari sekian banyak kategori yang tersedia, dia yakin bahwa kita bergantung kepada satu pertanyaan yang mendasar yang diajukan kepada masyarakat manapun, yakni apakah yang dilakukan perilaku yang normal itu? Tentu konsekuensi pertanyaan ini akan menimbulkan pertanyaan selanjutnya, apa pula yang dikatakan perilaku patologis, atau abnormal? Pertanyaan ini tidak terkait dengan nilai absolute yang ada di tengah masyarakat dalam sepanjang sejarah
Misalnya bunuh diri. Bagi sebagian masyarakat, seperti masyarakat Jepang perilaku ini adalah biasa saja, tapi tidak begitu dalam masyarakat lain. Dalam masyarakat primitif poligami adalah perbuatan yang normal tetapi anggapan ini tidak berlaku dalam masyarakat modern. Jadi kita harus menentukan normal tidaknya satu perilaku berdasarkan penilaian yang diberikan oleh kondisi social masyarakat yang melakukannya. Disamping penentuan perilaku yang normal dan tidak, kategori fungsi dalam masyarakat juga menduduki posisi menentukan dalam menjelaskan perilaku masyarakat tersebut. Dan yang perlu diingat bahwa kategori ini harus dipisahkan dari ide-ide kausalitas.
Durkheim menyimpulkan bahwa rata-rata kasus bunuh diri paling tinggi terjadi dalam masyarakat protestan, paling rendah terjadi dalam masyarakat katolik dan masyarakat yang agamanya heterogen cenderung sedang. Durkheim membagi dua untuk kasus bunuh diri ini, yakni:
“egoistik” yang lebih sering terjadi dan tipikal dalam masyarakat protestan daripada masyarakat katolik. Masyarakat protestan lebih memberikan kebebasan dalam berpikir dan bertindak kepada penganutnya sedangkan katolik memiliki masyarakat yang integritas sosialnya relative lebih kuat, dimana para pendeta menjadi perantara masyarakat dengan Tuhan. Oleh karena itu kita akan melihat rata-rata bunuh diri dalam masyarakat berbanding terbalik dengan tingkat integritas sosialnya. Semakin kuat ikatan social yang ada dalam masyarakat, maka akan semakin rendahlah rata-rata bunuh diri yang terjadi di dalamnya. Secara umum bunuh diri egoistic jelas terlihat sebagai konsekuensi alami dari lemahnya ikatan dan tekanan social.
“anomik” berasal dari kata Yunani, anomia yang berarti pelanggaran hokum untuk menunjukkan perasaan terkucil dan putus asa. Perasaan-perasaan seperti ini sering mewabah di saat terjadi instabilitas ekonomi dan social.
F.Politik, Pendidikan dan Moral
Durkheim yakin bahwa perspektif sosiologis yang ia tawarkan dapat memberikan masukan-masukan baru kepada system politik, pendidikan, moral dan terutama agama. Ia juga menekankan pentingnya apa yang dia sebut “kelompok sekunder”, dan “kelompok peranatara”. Misalnya persaudaran local dan asosiasi profesi guna membantu melindungi hak dan kesejahteraan individu ketika kekuasaan pemerintah semakin kuat. Durkheim juga mengatakan bahwa tujuan sekolah bukan hanya untuk pembekalan kemampuan-kemampuan tehnis, tapi juga memberikan nilai-nilai disiplin diri dan kesejahteraan masyarakat sekaligus menganjurkan agar semua itu bisa dilaksanakan bersamaan dengan kepentingan-kepentingan individu lainnya.
Setiap perintah dalam aturan-aturan moral bukanlah sesuatu yang gemerlapan dan bukan pula sebuah pilihan, melainkan satu hal yang fital dalam menjaga kesejahteraan dan keharmonisan masyarakat. Dengan melawan arus seperti ini, maka todaklah mengherankan jika dalam pembahasan politik dan pendidikan, Durkheim juga melakukan analisa tentang teori moral dan tradisi hokum. Analisa ini merupakan salah satu kata kunci programnya.
G.The Elementary of the Religious Life
Durkheim menemukan karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama yang bukan terletak pada elemen-elemen supernatural, tetapi pada konsep tentang “Yang Sakral”. Di dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi dua bagian terpisah yakni “dunia yang sacral” dan “dunia yang profan”. Bukan apa yang kita kenal selama ini dengan istilah natural dan supernatural. Hal-hal yang sacral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal dia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sebaliknya hal yang profan adalah bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Dan konsentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral.
Durkheim mengatakan bahwa agama adalah satu system kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Ia menyatukan perilaku-perilaku tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja yakni tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Yang Sakral tersebut memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Dilain pihak yang profane tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas pribadi ataupun kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan keluarga. Durkheim memperingatkan kita agar jangan salah mengartikan konsep ini sebagai sebuah pembagian moral yaitu menganggap Yang Sakral sebagai kebaikan dan Yang Profan sebagai kejahatan. Yang Sakral muncul terutama berkaitan dengan apa yang menjadi konsentrasi sebuah masyarakat dan Yang Profan adalah apa yang menjadi perhatian pribadi dari seorang individu.
Agama dan magis sama-sama berusaha menjelaskan cara kerja alam agar dapat dikuasai demi kepentingan manusia. Manusia awalnya menempuh jalan magis dan ketika gagal mereka beralih kepada agama sebagai bentuk pemikiran yang lebih baik daripada magis. Disinilah letak ketidaksepakatan Durkehim dengan para pendahulunya. Baginya, agama tidak dating untuk menggantikan magis yang gagal menjelaskan cara kerja alam, sebab agama dan magis memiliki konsentrasi yang berbeda. Magis berkaitan dengan urusan-urusan yang bersifat pribadi dan hampir tidak ada hubungannya dengan Yang Sakral. Misalnya seorang dukun yang punya kemampuan magis dapat mengobati penyakit saya atau membacakan mantra untuk mencelakakan musuh saya, dan tindakan-tindakan ini murni bersifat personal.
Kasus seperti ini bukanlah inti masalah yang paling mendasar dari agama. Sebab peran penting yang dimainkan keyakinan dan ritual keagamaan dalam masyarakat jauh lebih penting. Artinya fungsi-fungsi Yang Sakral adalah factor utama yang berperan dalam masyarakat secara keseluruhan. Oleh sebab itu magis dan agama bisa saja hidup berdampingan, sebab yang pertama berurusan dengan hal-hal yang sifatnya personal, sedangkan yang kedua menyangkut hal-hal yang bersifat social. Seseorang yang berkemampuan magis bisa saja memiliki beberapa klien, tapi tidak akan pernah memiliki jemaat. “Tidak pernah ada yang dinamakan gereja magis”.
H. Totemisme
Durkheim mengamati bahwa dalam masyarakat primitive ini setiap binatang yang bukan totem boleh diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk Yang Profan. Tapi tidak demikian halnya dengan binatang yang dijadikan totem. Binatang ini adalah bagian dari Yang Sakral dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan, kecuali dalam keadaan tertentu. Seperti ketika diadakan upacara agama dan binatang tersebut dijadikan qurban. Dan yang lebih penting lagi adalah lambang atau symbol binatang totem tersebut sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan hanya bagian dari Yang Sakral, akan tetapi juga merupakan perwujudan dan contoh yang sempurna dari Yang Sakral. Sewaktu klan tertentu berkumpul untuk mengadakan upacara keagamaan, biasanya selalu ada symbol-simbol dari totem yang mereka yang berupa ukiran pada kayu atau batu dan diletakkan ditengah-tengah tempat upacara. Totem adalah hal yang paling sacral dan mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada makhluk yang ada di sekelilingnya.
Kepercayaan Totemisme ini adalah yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini, karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lain dipengaruhi oleh totem-totem. Bagi masyarakat aborigin, semua kategori tersebut dibentuk oleh totemisme. Misalnya sebuah klan menempatkan matahari kepada kakak tua putih sedangkan bulan dan bintang diberikan kepada klan kakak tua hitam. Disamping itu, hierarki kekuatan benda-benda alam ditempatkan berdasarkan pembagian lekuasaan yang ada dalam struktur keluarga atau klan. Dengan demikian, konsep tentang totem dan klan ini mempengaruhi seluruh aspek yang paling penting dalam kehidupan masyarakat tribal. Bahkan seorang individu juga diperbolehkan memilih totemnya sendiri. Para penganut kepercayaan totem sebenarnya tidaklah memuja seekor kijang, katak atau kakak putih. Yang mereka sembah adalah satu kekuatan yang anonym dan impersonal yang dapat ditemukan dalam binatang-binatang tersebut tapi tidak bisa disamakan dengannya.
Menurut Durkheim, sebelum masyarakat memutuskan untuk menyakini Tuhan, terdapat sesuatu yang lebih mendasar lagi yaitu perasaan akan adanya sesuatu yang impersonal, maha kuasa, prinsip-prinsip totem yang menjadi focus utama dalam keyakinan klan. Dan yang lebih penting lagi bukti-bukti yang kita temukan tentang prinsip-prinsip totem ini sama sekali tidak terbatas di Australia saja.
Kita bisa melihat dengan jelas tesis yang menjadi jantung teori Durkheim tentang agama. Dalam analisis terakhirnya, dia menyatakan bahwa keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan social. Pemujaan terhadap totem sesungguhnya adalah pernyataan kesetiaan kepada klan. Memakan totem adalah penegasan dan bantuan kepada kelompok, sebuah cara simbolis setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepentingan klan lebih utama dari kepentingan individu.
I.Ritual Piacular
Disamping pemujaan negative dan pemujaan positif terdapat pemujaan yang lain yaitu ritual piacular. Ritual ini adalah ritual yang dilakukan untuk menebus kesalahan atau karena duka cita yang biasanya dilakukan setelah kematian seseorang atau setelah terjadi bencana besar.
Di zaman purba, pemujaan yang dilakukan dalam bentuk iring-iringan, meratap atau memukul-mukul dada, sebenarnya tidak ditujukan kepada dewa atau roh-roh tertentu. Ritual ini bertujuan untuk memberikan satu image mental kepada masyarakat yang akan menjadi titik pusat dari seluruh tindakan mereka.
Ritual Piacular memperlihatkan dua sisi kekuatan yang dimiliki oleh Yang Sakral, kekuatan yang melambangkan kegelapan dan kejahatan sebagaimana ritual ini juga bisa melambangkan cahaya dan kebaikan. Bila pemujaan positif diadakan oleh klan dengan penuh semangat dan suka cita, malapetaka, ketakutan dan ketidakpastian yang bisa terjadi dalam masyarakat manapun dan kapanpun. Misalnya pada saat presiden John F Kennedy tewas ditembak pada bulan November 1965, masyarakat Amerika Serikat tidak akan bisa melupakan bagaimana besarnya dampak emosional peristiwa ini secara nasional. Arak-arakan prosesi pemakaman yang penuh duka cita terlihat di sepanjang jalan, mulai dari ibukota Negara sampai ketempat pemakaman di Arlington National Cemetary. Masyarakat yang menonton upacara pemakaman ini lewat televise dapat menyaksikan seluruh bangsa Amerika saat itu seakan menjadi satu keluarga. Konsep ritual piacular dari Durkheim akan dapat menjelaskan kenapa semua itu bisa terjadi. Apapun yang dirasakan oleh sebuah masyarakat, ritual-ritual agama pasti akan mereflesikan sekaligus memperkuat perasaan tersebut.
J.Masyarakat dan Agama
Agama adalah sesuatu yang amat bersifat social. Durkheim menegaskan, walaupun sebagai seorang individu setiap kita memang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan itu tetap berada dalam kerangka social, sesuatu yang “given” kepada kita sejak dahulu. Kita berbicara bukan dengan bahasa yang kita buat sendiri, kita tidak mempergunakan perkakas yang kita rancang sendiri, kita menuntut hak yang tidak kita temukan sendiri, dan ilmu pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi pun tidak digali oleh setiap generasi secara sendiri-sendiri. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan social. Dia melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Arti penting ritual keagamaan akan membawa kita ke jantung teori Durkheim, yaitu penjelasan fungsional tentang agama. Dalam pendekatan intelektualis, keyakinan dan ide-ide yang disebut Durkheim sebagai sisi spekulatif agama adalah kata kunci untuk menjelaskan kebudayaan-kebudayaan lain.
Jika kita sepakat bahwa perbuatan seperti ini memang absurd, lantas kenapa masyarakat masih melakukannya? Jika memang ide-ide ini penuh takhayul, lalu kenapa tidak hilang dengan mudah? Kenapa masih dapat bertahan hingga sekarang? Bagi Durkheim, jawaban pertanyaan ini hanya bisa ditemukan di satu tempat, yaitu pada fungsi sosialnya, pada perbuatan mereka sendiri, bukan pada muatan keimanan atau apa yang mereka yakini tentang Tuhan dan dunia. Sebab seseorang hidup dalam kubangan perilaku-perilaku masyarakat. Hakikat agama tidak akan ditemukan dipermukaannya, tapi di dalam dasar agama tersebut. Arti penting agama terletak pada upacara-upacara yang dapat memberikan semangat baru kepada individu-individu kelompok mereka. Ritual-ritual ini kemudian menciptakan kebutuhan akan adanya satu symbol yang menggambarkan ide-ide tentang roh-roh leluhur dan dewa-dewa.
0 komentar:
Posting Komentar