Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Minggu, Agustus 09, 2009

PENCIPTAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM KONSEP AL QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN

PENCIPTAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM KONSEP AL QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN

Al-Qur’an tidak mengungkap secara tegas siapa manusia pertama. Pemahaman yang beredar pada sebagian besar umat manusia bahwa manusia pertama adalah Adam, bersumber dari kitab Old Testament pada bagian kitab Torah: Surat Kejadian…….. Pendapat ini diikuti oleh umat Kristiani dan Yahudi, serta sebagian besar umat Islam yang telah tersebar secara turun-temurun.


Bagi umat Islam yang memahami bahwa Adam adalah manusia pertama, mengambil rujukan surat Al Baqarah (2) ayat 30-36 dan Al A’raf (7) ayat 11-12. Jika diteliti dengan cermat, pada surat Al Baqarah ayat 30, kata yang digunakan dalam dialog antara Allah dengan malaikat adalah kata “Ja’ala” yang bermakna “yang menjadikan”, yang dijawab juga oleh malaikat dengan kata “taj’alu” yang bermakna “apakah engkau akan menjadikan”. Dialog ini tidak menggunakan kata “khalaqa” yang berarti “menciptakan”. Perbedaan antara kedua kata ini terletak pada makna “ja’ala”: menjadikan sesuatu dari sesuatu yang telah ada, sehingga terbentuk produk baru, sementara “khalaqa” : menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.
Al Qur’an adalah suatu kitab untuk pedoman hidup bagi umat manusia (bukan hanya untuk umat Islam). Hal ini terungkap dalam surat Al Baqarah (2) ayat 185. Sebagai pedoman hidup, ia mengungkap suatu kajian yang akan dapat dianalisis oleh manusia dengan komponen-komponen pada dirinya yang telah dipersiapkan oleh Penciptanya. Membahas sesuatu dari tidak ada menjadi ada, komponen yang ada pada diri manusia tidak mampu menganalisisnya. Kemampuan manusia hanya terbatas dalam mengolah sesuatu dari bahan yang telah ada. Khusus dalam mengkaji tentang manusia, ilmu pengetahuan mengungkap bahwa generasi Adam termasuk generasi homo sapien. Sementara sebelumnya sudah ada generasi yang punah yang ditemukan berupa fosil-fosil mirip manusia dan monyet, yang disebut homo erectus, antara lain ditemukan diwilayah pulau Jawa, daratan Cina dan Eropa. (Homo Soloensis, Pekinensis, Neanderthal). Ada kemungkinan, homo erectus yang dinyatakan oleh malaikat ketika Allah menyatakan akan menjadikan generasi khalifah dan malaikat mempertanyakan “Apakah Engkau akan menjadikan mereka yang akan bertumpah darah dan merusak alam? Sementara kami senantiasa mensucikan dan mengkuduskan Engkau” (Al Baqarah (2): 30).
Persoalannya adalah apakah generasi homo erectus punah lebih dahulu baru diciptakan homo sapien yang baru sama sekali, atau ada satu atau beberapa homo erectus yang hamil yang dalam kehamilannya ditiupkan ruh sehingga muncul generasi jenis baru yang oleh ilmu pengetahuan disebut homo sapien dan oleh Al Qur’an disebut bani Adam atau Zuriyat Adam, yang berarti anak cucu Adam (Al A’raf (7): 31, 172; Al Isra’ (17): 70 dan Yaasiin (36): 60).
Jika diambil kesimpulan bahwa generasi erectus punah seluruhnya lebih dahulu, kemudian Allah menciptakan homo sapien yang dipelopori oleh Adam yang dalam Al Baqarah (2): 30 itu disebut sebagai generasi khalifah, tentunya kata yang digunakan adalah kata khalaqa bukan ja’ala. Namun, kita dapat dibingungkan dengan ungkapan kata khalaqa pada surat Al A’raf (7): 11, hanya pada ayat ini kata khalaqa itu diiringi dengan 2 kali kata tsumma (kemudian) untuk sampai menyebut kata Adam. Kata tsumma yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “kemudian”, bisa bermakna jangka pendek dan dapat pula bermakna jangka panjang (Kami ciptakan kemudian Kami beri bentuk dan kemudian Kami katakan pada malaikat “sujudlah kepada Adam”). Masalah rentangan waktu ini membuat adanya perbedaan pendapat. Jika diartikan dengan rentangan waktu yang panjang, berarti generasi homo erectus punah terlebih dahulu, lalu kemudian dalam waktu beberapa lama baru diciptakan generasi baru yang dipelopori oleh Adam. Jika diartikan dengan rentang waktu yang pendek, maka dalam generasi homo erectus ketika hamil ditiupkan ruh, maka muncul generasi baru yang disebut bani Adam atau Zuriyat Adam. Surat An Nisa’(4): 113 menyatakan bahwa jika Allah menghendaki, Allah dapat memusnahkan suatu kaum dan menggantinya dengan yang lain.
Generasi baru yang dipelopori oleh Adam sebagai generasi khalifah dibekali oleh Allah dengan wahyu yang diberi nama al Asma’. Para penerjemah Al-Qur’an, mengartikan al Asma’ ini sebagai jamak dari kata ismun : nama benda. Jika al Asma’ dalam arti nama-nama benda yang diperintahkan kepada Adam untuk diajarkan kepada malaikat, apa gunanya bagi malaikat untuk mengetahuinya, karena para malaikat telah menyatakan “kami selalu mensucikan dan mengkuduskan Allah”. Tetapi karena al Asma’ itu berisi wahyu Allah untuk pedoman bagi Adam sebagai seorang khalifah dan sekaligus sebagai rasul Allah, dan diterangkan oleh Adam kepada para malaikat, barulah mereka terpana dan menyatakan “maha suci engkau ya Allah, tidak ada ilmu pada kami, kecuali yang telah Engkau ilmukan pada kami”. Dengan bukti itu, Allah memerintahkan agar malaikat tunduk kepada Adam dan dipatuhi, kecuali iblis yang sombong dan angkuh.
Sebagian para ulama mengartikan kata khalifah sebagai pemimpin dan sebagian lagi mengartikan dengan wakil Allah. Kata khalifah yang diungkap dalam surat al Baqarah (2): 30 tersebut, pertama kali dibudayakan oleh Abu Bakar as Shiddiq ketika beliau menerima jabatan sebagai khalifah, dengan kalimat yang diucapkan oleh beliau “Inni khalifatu rasulillah” yang berarti “sesungguhnya aku adalah khalifah rasulullah”. Jika kata khalifah itu diartikan pemimpin, maka ucapan Abu Bakar tersebut akan bermakna “sesungguhnya aku adalah pemimpin rasulullah”, makna ini tentu keliru. Demikian halnya jika khalifah diartikan sebagai wakil Allah dimuka bumi. Allah Maha Kuasa dan tidak memerlukan wakil (Diwani, 2003, terj. 164). Oleh karena itu, makna yang paling tepat untuk kata khalifah ini adalah penerus ajaran. Abu Bakar as Shiddiq sebagai khalifah Rasulullah bermakna penerus ajaran Rasulullah. Manusia sebagai generasi khalifatullah fil Ardh, bermakna “penerus ajaran Allah dimuka bumi”.
Sebagai makhluk ciptaan Allah dan berfungsi sebagai penerus ajaran Allah di bumi, ia diciptakan Allah dengan segala kelengkapan dan potensi yang berguna untuk melaksanakan tugas itu, dibekali buku pedoman yang untuk periode terakhir bernama Al Qur’an.
Secara fisik, ia diciptakan dari tanah, dengan unsur-unsur:
1. Thiin, yang diungkap dalam surat al An’am (6): 2, as Sajadah (32): 7 dan Shaad (38): 71, pada ayat-ayat ini, kata thiin tidak diiringi penjelasan, kecuali pada surat al Mukminuun (23): 12, kata thiin didahului oleh kata shulalat yang diterjemahkan dengan “saripati”, dan pada surat as Shaffat (31): 11, kata thiin diikuti dengan kata lazib yang diartikan tanah liat.
2. Shalshal, yang diungkap dalam surat al Hijr (15): 26, 28 dan 33. Ketiga kata shalshal ini diikuti kalimat min hamain masnun yang berarti lumpur hitam yang diberi bentuk. Sementara pada surat ar Rahmaan (55): 14, kata shalshal diiringi kata kal fakhkhar yang bermakna seperti tembikar.
3. Turab, yang diungkap pada surat al Kahfi (18): 37, al Hajj (22): 5, Fathir (35): 11, tanpa kata yang memberi penjelasan, kecuali pada surat al Mukmin (40): 67 dan ar Ruum (30): 20 kata turab langsung di-sambungkan dengan nutfah yang merupakan proses lanjutan dari produk tersebut di atas.

Kemudian pada surat al Furqan (25): 54, disebutkan bahwa manusia dicipta-kan dari alma’ (air) yang menjadikannya berketurunan. Pada surat at Thariq (86): 6, diiringi dengan kata nafiq yang berarti terpencar.
Dari uraian di atas, terlihat ada 4 (empat) bahan baku dalam penciptaan manusia yang disebut dengan istilah Insan dan basyar. Dari 4 (empat) bahan baku tersebut, berkembang menjadi nutfah (an Nahl (16): 4; al Hajj (22): 5; al Mukmin (40): 67) yang bercampur (al Insan (76): 2) dan ditumpahkan (al Qiyamah (75): 37; an Najm (53): 46) yang keluar dari shulbi (pada laki-laki) dan taraib (pada perempuan) (at Thariq (86): 7) tersimpan dalam perut perempuan (az Zumar (39): 6 dan al A’raf (7): 189). Ilmu pengetahuan memberi istilah sperma pada laki-laki dan ovum (sel telur) pada perempuan.
Ketika sperma dan ovum bersatu, nafs (jiwa) mereka diikrarkan oleh Allah dengan pernyataan “Bukankah Aku ini Rabbmu?” mereka menjawab “Benar kami bersaksi” (al A’raf (7): 172). Inilah pernyataan pertama yang meresap pada nutfah yang kemudian berkembang jadi alaqah (al Hajj (22): 5; al Mukminun (23): 14; al Mukmin (40): 67; al Qiyamah (75): 38; al Alaq (96): 2).
Penerjemahan alaqah sebagai segumpal darah, tidak sesuai dengan makna darah dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa darah tetap merupakan darah, tak pernah berubah. Selain itu alaqah dapat pula berarti gantungan. Pengertian ini lebih cocok, karena sperma dan ovum yang menyatu, ia akan menggantung ke dinding kantong rahim perempuan dan inilah yang berkembang menjadi janin. Jika tidak lengket tergantung, maka ia akan terbuang bersama air seni yang dikeluarkan si perempuan.
Alaqah berkembang menjadi mudghah yang berlanjut menjadi tulang yang dibungkus dengan daging (al Mukminun (23): 14). Ada yang sempurna dan ada yang tidak sempurna, ditetapkan dalam rahim perempuan dengan program waktu tertentu (al Hajj (22): 5), diberi bentuk (al A’raf (7): 11 dan al Mukminun (23): 14) setelah sempurna ditiupkan ruh (al Hajr (15): 29; Shaad (38): 72 dan as Sajadah (32): 9). Program waktu tertentu itu, dalam kenyataan normal berjalan ± 9 bulan 10 hari. Akhirnya lahir menjadi seorang bayi, beranjak dewasa, ada yang diwafatkan terlebih dahulu dan ada yang dipanjangkan umurnya sampai beruban dan pikun (al Mukminun (23): 15; al Mukmin (40): 67) mereka dilengkapi dengan pendengaran dan penglihatan (al Insan (76): 2; as Sajadah (32): 9 dan al Mulk (67): 23). Selain pendengaran dan penglihatan ditambah perasaan (al Af-idah). Ketiga alat ini berfungsi untuk menentukan kualitas kemanusiaannya, apakah benar berkualitas sebagai manusia atau binatang, bahkan lebih jelek (al A’raf (7): 179).
Dari lemah (bayi) menjadi kuat (dewasa) kemudian lemah kembali (tua) (ar Rum (30): 54). Diciptakan ada pasangannya (an Nisa’ (4): 1; al A’raf (7): 189; az Zumar (39): 6 dan an Naba’ (78): 8 terdiri dari laki-laki dan perempuan (al Hujurat (49): 13; an Najm (53): 45; al Qiyamah (75): 39 dan al Lail (92): 3) ada yang mukmin dan ada yang kafir (at Taghabun (64): 2).
Sesudah semua berproses, sesuai dengan ajal yang telah ditentukan (diprogram), masing-masing akan menghadapi kematian. Ada yang mati semasa dalam kandungan (keguguran atau lahir dalam keadaan sudah tak bernyawa), ada yang mati ketika masih bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa muda, dan ada yang berumur panjang sampai beruban dan pikun. Proses kematianpun bermacam-macam. Ada yang melalui proses sakit, tabrakan, terbunuh, dan ada yang mengalami tiba-tiba tanpa sakit dan bahkan sedang shalat.
Pendapat konvensional menyatakan bahwa yang mati itu jasadnya. Al Qur’an dalam surat ali Imran (3): 85 menyatakan ﻜﻞﻨﻔﺲﺬﺌﻘﺔﺍﻠﻤﻮﺖ (setiap nafs pasti mati). Ini berarti yang mati itu adalah jiwanya, sementara jasad mengalami proses pembusukan untuk kemudian secara perlahan tapi pasti, akan bersenyawa dengan tanah.
Hadist menginformasikan bahwa ruh manusia tidak ikut mengalami kematian. Ia berangkat ke alam barzah menunggu proses kebangkitan, yang dalam al Qur’an disebut dengan istilah ﻴﻮﻢﺍﻠﺑﻌﺙ (ar Rum (30): 56), yang diartikan sebagai hari kebangkitan.
Dari ungkapan ayat-ayat al Qur’an yang diuraikan di atas, tidak terlihat adanya perbedaan proses penciptaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Diciptakan dari nafs yang satu, secara fisik bersumber dari bahan yang sama, hanya Allah yang menentukan apakah yang akan muncul itu laki-laki atau perempuan. Yang jelas Allah menciptakan masing-masing ada pasangannya dan dari pasangan itu, melalui proses perkawinan, melahirkan keturunan yang bertebaran di muka bumi.
Kita tak menemukan dari ayat-ayat al Qur’an yang menyatakan bahwa perempuan yang pertama adalah Siti Hawa dijadikan dari tulang rusuk nabi Adam. Setahu penulis, cerita bahwa Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, bersumber dari Bible (perjanjian lama) pada surat Kejadian. Kalaupun ada yang mengungkap bahwa itu ada sumber hadistnya, sejauh mana kekuatan hadist tersebut perlu diteliti ulang.
Demikian pula dengan terciptanya Adam dan Hawa di Surga. Surat al Baqarah (2): 30 yang dikutip di awal bab ini menyatakan bahwa Allah menjadikan generasi khalifah di bumi. Memang ada kalimat pada ayat 36 yang berbunyi “uskun anta wa zaujukal jannah”, yang dalam terjemahan konvensional diartikan “Hai Adam, tinggallah engkau bersama istrimu di surga”. Penulis melihat bahwa kalimat awal pada surat al Baqarah (2): 30 penunjukan tempat di bumi digunakan kata “fi” sedangkan pada al Baqarah (2): 36 tentang “jannah”, tidak diberi kata “fi”. Oleh karenanya, penulis melihat kata “jannah” ini lebih mengarah dalam artian “bahagia”. Sehingga dengan demikian, diciptakannya setiap manusia berpasangan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan hidupnya (ar Rum (30): 21).
Sehubungan dengan itu, dalam rangka tercapainya rasa kebahagiaan dalam hidup, manusia dilengkapi oleh Allah dengan beberapa komponen di luar jasadnya yaitu:


1. Nafs, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
a. Nafs Amarah, yang mengarah pada sifat yang jahat (Yusuf (12): 53).
b. Nafs Lawwamah, yang mengarah pada cinta dunia (a’jilah) dan meninggal-kan akhirat (al Qiyamah (75): 1-3 jo. 20-25)
c. Nafs Muthmainnah, yang mengarah pada jalan Allah, mencari kesenangan dan ketenangan di bawah lindungan Allah (al Fajr (89): 27-30).
2. Ruh, berfungsi untuk:
a. Membawa dan menerima wahyu (as Syu’ara (26): 193, dalam artian telah siap untuk menerima isi al Qur’an sebagai wahyu terakhir yang diturunkan Allah melalui Rasul Muhammad SAW, dan punya kemampuan menyampai-kannya pada orang lain.
b. Menguatkan kualitas keimanan (al Mujaddah (58): 22).
c. Memunculkan fungsi pendengaran, penglihatan, dan perasaan (as Sajadah (22): 7-9).
3. Qalb, yang diartikan hati, yang berfungsi sebagai perasaan yang mengarah pada hal-hal positif, seperti menerima hidayah dari Allah (at Taghabun (64): 11; at Tahrim (66): 4 dan al Hujurat (49): 3) dan dapat pula mengarah pada hal-hal yang negatif, seperti qalbnya tertutup (al Baqarah (2): 7, 88; al A’raf (7): 101; Yunus (10): 74 dan al Jatsiyah (45): 22,23; dsb.)
4. Fikir, berfungsi untuk mengkaji hal-hal yang bersifat realita faktual, berupa:
a. Proses penciptaan alam (Ali Imran (3): 190-191; ar Ra’d (13): 2-3; al Jatsiyah (45): 12-13).
b. Kebendaan (al Baqarah (2): 219; an Nahl (16): 111).
c. Kemanusiaan dan kehidupan (al Baqarah (2): 226; al An’am (6): 50: al A’raf (7): 176; Yunus (10): 24; an Nahl (16): 69).
d. Kerasulan Muhammad (al A’raf (7): 184, Saba’ (34): 46).
e. Al Qur’an (an Nahl (16): 44; al Hasyr (59): 21).
5. Aqal, yang berfungsi untuk mengkaji hal-hal yang bersifat realita faktual dan konseptual, berupa:
a. Masalah ketuhanan (al Baqarah (2): 73, 142; al Anbiya (21): 66-67; as Syura (42): 28).
b. Masalah kehidupan akhirat (al An’am (6): 32).
c. Masalah kerasulan (Ali Imran (3): 65; Yusuf (12): 109; as Shaffat (37): 114-148).
d. Materi al Qur’an (Yunus (10): 15-16; al Anbiya’ (21): 10).
e. Masalah penciptaan manusia dan sikap hidup (al Baqarah (2): 44; an Nuur (31): 61; al Qashas (28): 60; Yaasiin (36): 62; al Mukmin (40): 67).
f. Masalah hubungan kemasyarakatan (al Baqarah (2): 75-76; Ali Imran (3): 118; al Ankabut (29): 34-35).
g. Masalah pengendalian kekayaan (al An’am (6): 151; al A’raf (7): 169; Huud (11): 51; an Nahl (16): 67).
h. Masalah penataan alam (al Baqarah (2): 164; ar Ra’d (13): 2-3; al Jatsiyah (45): 4-5; al Hadiid (57): 17).
(lebih lanjut lihat: Zaghlul Jusuf, 1999, hal: 57-78).
Semua unsur-unsur tersebut di atas terdapat tidak hanya pada laki-laki saja, tetapi juga pada perempuan, yang harus digunakan dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Hanya ilmu pengetahuan menemukan perbedaan berat otak laki-laki dan perempuan. Laki-laki berat otaknya ± 1450 gram, sedang perempuan ± 1250 gram (Paryana, 1963 hal ). Penulis belum menemukan adanya penelitian lebih lanjut, apakah perbedaan berat otak tersebut memberi dampak perempuan lebih rendah kemampuan berfikirnya di banding laki-laki. Al Qur’an surat al Baqarah (2): 228 menyatakan “wa lil rijali ‘alaihinna darajat” (bagi laki-laki 1 (satu) derajat di atas perempuan). Namun ayat 226-228 al Baqarah (2) ini mengarah pada soal perceraian, bukan menunjukkan artian umum bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Begitu juga surat an Nisa’ (4): 34 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita. Secara kontekstual, ayat ini menyangkut kepemimpinan dalam rumah tangga, bukan dalam artian menyeluruh. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam mencari rezeki (an Nisa’ (4): 32) dan mempunyai hak yang sama pula dalam mencapai taqwa (al Hujurat (43): 13). Namun harus diakui, secara fisik perempuan memang tergolong makhluk yang lemah, seperti juga anak-anak dan orang tua (an Nisa’ (4): 97-98) dan wajib mendapat perlindungan (an Nisa’ (4): 75). Jangan ambil manusia sebagai pelindung, karena ia sendiri belum tentu mampu melindungi dirinya sendiri. Hilangkanlah kebiasaan meminta seseorang sebagai pelindung.
Perlindungan yang paling utama adalah perlindungan dari Allah SWT. Untuk dapat perlindungan dari Allah, dekatkan diri kepada-Nya, baik dalam bentuk ibadah maupun dalam bentuk doa. Kelemahan fisik, imbangi dengan kekuatan iman. Jika iman kepada Allah kuat, Allah akan menggerakkan dan memberi kekuatan pada diri anda ataupun melalui orang lain, untuk melindungi anda. Bagaimana mungkin Allah memberi perlindungan, jika kita tidak dekat dengan Dia?

0 komentar:

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com