Welcome to punyahari.blogspot.com...selamat datang di punyahari.blogspot.com

Sabtu, April 11, 2009

"Fiqh kekerasan dan tasamuh"

FIKIH KEKERASAN DAN TASAMUH

Tawuran adalah salah satu bentuk kekerasan yang semua agama di dunia melarangnya, di karenakan dapat merugikan pribadi atau orang lain. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.


Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.
Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.
Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui peranannya. Di dalam islam ada beberapa kajian menegenai tawuran (selanjutnya : kekerasan) di dalam konteks hadits dan qur’an. Dari 2 konteks tersebut maka timbulah tesis berupa fiqh kekerasan. Penulis disini mengangkat 3 kaedah fiqh tentang kekerasan yaitu :
Yang pertama, yang menyatakan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama hukumnya boleh bahkan bisa wajib. Ini atas dasar banyak dalil baik di dalam al-Qu’ran maupun Hadits Nabi saw yang mendasarinya. Di antaranya di sebutkan dalam surah At-Taubah ayat 5 bahwa: “…faqtulul musyrikîna haitsu wajadtumûhum…”, artinya “…maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik itu dimana pun kamu jumpai…”. Dalam surah Muhammad ayat 4 dikatakan bahwa , “Fa idzâ laqîtum al-ladzîna kafarû fa dharba riqâb…, artinya “Kalau kalian bertemu orang-orang kafir di medan perang) maka pengallah lehernya…”. Dalam surah Al-Anfal ayat 39 dikatakan bahwa, “waqâtilûhum hattâ la yakûna fitnantun wa yakûna dînu kullahû lillah”, artinya: “Orang-orang musyrik itu sehingga tidak ada fitnah dan semata-mata agama untuk Allah”.
Yang muncul di film “Fitnah” yang dibikin oleh orang Belanda itu, ia mengutip ayat al-Qur’an surah Al-Anfal ayat 60 yang berarti: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Ap saj yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak dianiaya (dirugikan)”. Dengan merujuk secara harfiyah pada ayat-ayat al-Qur’an seperti di atas, maka dengan demikian melakukan tindak kekerasan dengan baju agama bukan saja boleh tetapi wajib dilakukan oleh umat Islam. Apakah NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, MMI dan HTI sekalipun. Selagi masih terikat dengan kata atau aqidah Islam, maka harus berpegang pada al-Qur’an dan Hadits. Karena itu kekerasan dengan mengatasnamakan agama boleh dilakukan bahkan wajib hukumnya. Ini qaul yang pertama, yang menjadi pegangan Osamah bin Laden, al-Qaedah dan lain sebagainya
Yang kedua, menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama itu dilarang, kekerasan dengan alasan agama atau berbaju agama haram hukumnya. Karena di dalam Al-Qur’an ada ayat yang menyatakan: “La ikrâha fi al-dîn”, “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS, Al-Baqarah: 120). Ayat yang lain menyatakan bahwa: “… Fa man syâ’a falyu’min wa man syâ’a falyakfur”, artinya: “Orang boleh memilih barang siapa ingin beriman maka boleh beriman, dan barang siapa hendak kufur, maka silahkan saja kufur” (QS, al-Kahfi: 29) . Ada lagi ayat yang berbunyi, “Lakum dînukum wa liya dîn”, artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS, Al-Kafirun: 6). Dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an seperti ini, maka Islam tidak boleh dilaksanakan atas dasar paksaan.
Yang ketiga, qaûl yang menyatakan bahwa hukum melakukan kekerasan atas dasar agama adalah syubhat (tidak jelas). Karena memang ada ta’arudh baîna adillah, ada pertentangan antara dalil-dalil atau ayat-ayat yang menganjurkan kekerasan dan dalil-dalil yang menentangnya. Jadi hukum kekerasan atas nama agama menrurut qaul yang ketiga adalah syubhat. Tetapi, di dunia pesantren, lebih khusus di kalangan para sufi atau orang-orang yang menjaga diri perbuatan buruk (orang-orang wara’), syubhat adalah juga perkara yang harus ditinggalkan dan dijauhi selain tentu perkara yang hukumnya haram.
Di antara beberapa qaûl (pandangan) di atas, maka kita akan memilih yang mana? Kalau di kalangan masyarakat dan ulama Nahdlatul Ulama (NU) hukum melakukan kekerasan atas dasar agama ini persis dengan hukumnya bunga bank, ada yang menyatakan halal, haram dan ada pula yang menyatakan syubhat. Saya sendiri berpegang pada pandangan bahwa kekerasan atas nama atau berbasis agama tidak bisa dibenarkan.
Memang di dalam al-Qur’an ada dua kelompok ayat, kelompok ayat yang menganjurkan tindak kekerasan atas dasar agama dan ada kelompok ayat yang justru sebaliknya. Ada ayat yang menyatakan bahwa “La ikrâha fi al-dîn”, yang artinya: “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120), dan ada ayat yang berbunyi “Faqtulû musyrikîna haitsu wajadtumûhum”, yang artinya: “maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik di mana pun kalian jumpai” (QS. At-Taubah: 5). Itu kan ada ta’arudhul adilah (pertentangan dalil) di dalam al-Qur’an. Menurut hemat saya, ayat al-Qur’an yang menyatakan “faqtulul musyirikina, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu” bisa dinasakh (dihapus maknanya) dengan ayat “La ikrâha fi al-din, tidak ada paksaan dalam agama”. Atau bisa dilakukan takhsish (spesifikasi) atau nasakh juz,iy di dalam ushul fiqh. Kenapa? “La ikraha” dalam ayat yang menyatakan “La ikraha fi al-din”, bila dikaji dari sisi ilmu nahwu (grammer Arab) maka, “La” di sana menunjukkan pada La linafyil jinsi. Artinya kata La, yang bermakna tidak ada itu meliputi seluruh jenis paksaan di dalam agama. Artinya Islam sama sekali tidak bisa dijalankan dengan paksaan.
Sementara kata ikraha (paksaan) adalah kata tunggal (mufrad). Kata dalam bentuk mufrad yang terletak setelah nafy (negasi) maka disebut kata ‘am (umum). Menurut Imam Hanafi kata ‘am memiliki dalalahnya adalah qath’iy, artinya menunjukkan makna pasti. Sehingga dengan dalalah qath’iy ini, ayat yang menyatakan “la ikrahâ fi al-din” tidak bisa di dtaksish (disepesifikkan) atau di nasakh (dihapus maknanya) dengan hadits atau ayat lain yang dalalahnya adalah dzanni (tidak pasti). Karena itu la ikraha fi al-din, yang artinya tidak ada paksaan dalam agama adalah dalil atau yang menunjuk pada hukum utama. Sementara itu dalil-dalil lain tidak bias menggantikan posisi utama dalil atau ayat itu.
Ada hadits yang menyatakan bahwa man baddala dînahu faqtulû, artinya: “Siapa yang berpindah agama (dari Islam) maka boleh untuk dibunuh”. Hadits atau dalil semacam ini akan berbahaya bila dipraktekkan di tengah masyarakat Indonesia. Hadits ini termasuk hadits Ahad yang belum memenuhi syarat-syarat sebagai hadits mutawatir (yang sanadnya sampai ke Nabi saw). Karena ia hadits Ahad maka dalalahnya atau makna yang ditunjukkanya adalah dzanny (tidak pasti). Sehingga tidak bisa diterapkan sebagai landasan hukum
Karena itu sekali lagi saya katakan bahwa kekerasan atas nama agama adalah syubhat, dan tidak mudah begitu saja dibenarkan. Dalam pandangan saya, dunia pesantren yang menelorkan ribuan bahkan ribuan juta santri di negeri ini, sesungguhnya mayoritas berpandangan dan mendahulukan toleransi (tasamuh), beragama secara ramah, menghargai perbedaan, juga termasuk pada pemeluk agama yang berbeda. Karena inilah yang dijalankan oleh Nabi SAW. Jadi Nabi sejak mulai pertama sebenarnya mendukung jaminan kebebasan beragama. Bagaimana kaidah fiqh toleransi ??

Kaidah Fikih Toleransi
Dalam fikih, ada beberapa kaidah yang sarat dengan nilai-nilai toleransi. Pertama, kaidah yang berbunyi, al-ijtihâd lâ yunqaz bil ijtihâd (suatu ijtihad tidak dapat dipatahkan oleh ijtihad lain). Kaidah di atas hendak menegaskan bahwa hasil suatu ijtihad merupakan hukum Tuhan (hukmullah) bagi sang mujtahid. Adalah kewajiban mujtahid tersebut untuk mengamalkan hasil ijtihadnya sesempurna mungkin.
Seorang mujtahid tidak diperbolehkan merespons miring hasil ijtihad yang berbeda dari mujtahid lain. Karena hasil ijtihad tersebut sama-sama menjadi hukum Allah bagi masing-masing mujtahid.
Kedua, kaidah yang berbunyi, umûrul muslimîn mahmûlun ‘ala as-sadâdi wa as-shalâh (dalam semua hal umat Islam harus senantiasa bersikap saling melengkapi dan berprilaku positif). Substansi kaidah ini hendak menegaskan, umat Islam seyogyanya bersikap saling melengkapi dan berprilaku positif. Baik untuk mereka yang berbeda agama, terlebih lagi untuk internal mereka.
Ketiga, kaidah yang berbunyi, al-hâjatu tanzilu manzilata ad-darûrah (kebutuhan sama halnya dengan keterpaksaan). Hampir tidak ada ajaran Islam yang tidak diringankan dalam keadaan terpaksa atau darurat. Karena terpaksa, hal-hal yang wajib mendapatkan keringanan. Bahkan yang haramkan pun dibolehkan.
Di Indonesia, sikap toleran dan kesadaran akan kemajemukan tidak kalah pentingnya dari air dan makanan. Apabila air dan makanan dapat menghilangkan nyawa seseorang, maka toleransi dapat menghilangkan jiwa kebangsaan di Indonesia. Karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, kemajemukan merupakan identitas bangsa Indonesia yang tak dapat dipungkiri oleh siapa pun.
Keempat, kaidah yang berbunyi, ad-dararu tuzâl (semua kemudharatan harus disingkirkan). Kaidah di atas hendak menegaskan, bahwa kehidupan harus dibersihkan dari kemudharatan. Menafikan kemudharatan berarti mewujudkan semua hal yang bermaslahat.

Dasar-Dasar Fikih Toleransi
Dari perspektif toleransi, dasar-dasar hukum Islam (al-Quran, hadis, ijma’ dan kebiasaan) bisa dipahami sebagaimana berikut; al-Quran adalah wahdâniyyatul mashdar, ta’addûdiyatul afhâm (satu sumber, ragam pemahaman). Dengan kata lain, semua ayat al-Quran datang dari satu sumber, yaitu Tuhan. Namun demikian, hal ini tak berarti pemahaman terhadap kandungan al-Quran juga tunggal. Salah satu penyebab utamanya adalah, keberadaan bahasa al-Quran (bahasa Arab) yang multi karakter. Terutama karakter haqîqah (hakikat) dan majâz (metafor), sebagaimana telah diungkapkan.
Kondisi di atas telah menyebabkan banyaknya pemahaman terhadap kandungan al-Quran. Ada banyak contoh yang bisa menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah dalam memahami istilah “menyentuh perempuan” (lâmastum an-nisâ’) sebagai salah satu penyebab batalnya wudhu’ (kewajiban bersuci sebelum shalat). Apa yang dimaksud dengan “menyentuh perempuan” dalam ayat tersebut? Dalam masalah ini, pendapat para ulama setidaknya terbagi ke dalam enam bagian; menyentuh dalam arti umum; menyentuh dalam arti berpelukan dan saling memegang alat vital masing-masing; menyentuh dalam arti bersyahwat; menyentuh dalam arti disengaja dan tanpa pembatas apa pun; menyentuh dalam arti dengan tangan; dan menyentuh dalam arti menyentuh perempuan yang bukan muhrim. Masing-masing pandangan mempunyai landasannya sendiri yang tak mungkin disebutkan di sini.
Menariknya adalah, sejumlah pandangan di atas melibatkan para pembesar sahabat seperti Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri, Sufyan ats-Atsauri, dan sejumlah sahabat papan atas lainnya.
Dalam perspektif toleransi, hadis adalah kastratur riwâyât, awlawiyyatul jam’i (banyak alur periwayatan, keutamaan mengakomodasi semua pendapat). Baik banyaknya alur periwayatan dalam arti satu hadis diriwayatkan oleh banyak pihak, atau masing-masing pihak meriwayatkan hadis yang berbeda-beda.
Dalam studi hadis, kemajemukan riwayat terjadi lebih dahsyat ketimbang dalam (ilmu) al-Quran. Selain karena periwayatan hadis tidak terjadi secara merata di kawasan-kawasan Islam, juga disebabkan oleh adanya sekelompok orang yang secara sengaja menyebarkan hadis-hadis palsu atau buatan. Dalam ilmu hadis, kelompok ini dikenal dengan sebutan waddhâ’ul hadis (pemalsu hadis).
Menariknya adalah, dalam ilmu hadis kemajemukan riwayat menjadi salah satu ukuran terpenting bagi benar tidaknya sebuah hadis. Dengan kata lain, semakin sebuah hadis diriwayatkan secara majemuk, maka semakin besar kemungkinan hadis itu sahih (benar) dari Nabi.
Bagaimana dengan ijma’ (konsensus) sebagai dasar hukum Islam ketiga? Dalam perspektif toleransi, ijma’ adalah taswiyatul arâ’, taf’îlu al-musyârakah (pentitik-temuan ragam pandangan, optimalisasi kebersamaan). Karena sebagaimana dimaklumi, ijma’ merupakan proses konsensus untuk menciptakan suatu kesimpulan hukum berdasarkan musyawarah-mufakat di kalangan para ahli hukum. Ijma’ bagaikan pohon besar nan subur yang siap “berbuah” tanpa mengenal perbedaan musim. Hingga umat Islam bisa terus menikmati manis dan segarnya buah ijma’ tersebut.
Dalam konteks seperti ini, ijtihad dipastikan tidak akan pernah buntu. Sebagaimana perbedaan ijtihad juga tidak akan menjadi mala petaka bagi umat Islam. Karena pandangan-pandangan tersebut diupayakan bersinergi dalam suatu titik-temu. Hingga keragaman ijtihad menjadi rahmat, sebagaimana dikatakan Nabi dalam salah satu hadisnya (ikhtilâfu ummatî rahmatun).
Ada sebagian umat Islam yang memahami ijma’ sebagai “buah manis” dalam bentuk kesimpulan hukum, bukan pohonnya sebagaimana dalam analogi di atas. Ijma’ sebagai kesimpulan hukum atau “buah manis” sangat problematis bila dijadikan sebagai dasar hukum. Karena hal ini berarti menyajikan “satu buah” kepada umat Islam di sepanjang masa. Semanis apa pun “buah” (bila buah tersebut ternyata sudah dipetik beberapa waktu silam) tidak akan dirasakan manis juga oleh mereka yang “memakannya” di waktu yang berbeda. Walaupun pada masanya mungkin dirasakan demikian.
Dan yang terakhir tentang ‘âdah atau kebiasaan lokal. Dalam perspektif toleransi, kebiasaan adalah ihtirâmu an-nash, ikrâmu an-nâs (menghormati teks, memuliakan manusia). Fikih tidak pernah menomorduakan salah satu dari teks dan konteks. Dalam hal-hal tertentu ketetapan berdasarkan kebiasaan dibolehkan walaupun bertentangan dengan ketetapan teks. Salah satu kebiasaan yang diutamakan atas teks (ketika keduanya bertentangan) adalah seseorang yang bersumpah tidak akan memakan lahm. Menurut para ahli fikih, seseorang yang bersumpah tidak akan memakan lahm tidak melanggar sumpahnya tersebut dengan memakan ikan. Karena berdasarkan kebiasaan, lahm berarti daging, bukan ikan. Walaupun dalam al-Quran, lahm bermakna daging dan ikan.
Dari sini para ulama fikih merumuskan satu kaidah hukum yang berbunyi, ats-tsâbit bil ‘urfi kats-tsabit bin nash (ketetapan berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan ketetapan teks), atau kaidah yang berbunyi al-‘âdah muhakkamah (kebiasaan adalah hukum).
Oleh karena itu jika kita melakukan kekerasan kepada orang lain dengan apapun alasannya maka dilarang dan janganlah kita memahami suatu ayat atau hadits hanya berdasarkan tekstual saja melainkan tekstualnya. Misalkan hadits tentang mencegah kemungkaran dengan tangan, dengan lisan lalu dengan hati. Hanya karena dalil ini kita langsung menggunkan tangan (menyerang). Dan yang perlu di ingat penolakan kekerasan ini telah berakar dalam nilai-nilai Islami berdasarkan petunjuk Qur’an, yang menyatakan pembunuhan tidak adil terhadap seorang manusia setara dengan pembunuhan seluruh umat manusia (Qur’an 5:32). Tidak ada pembenaran dalam Islam untuk ekstrimisme atau terorisme dan alangkah baiknya jika kita melakukan tasamuh.

0 komentar:

Terima Kasih sudah berkunjung ke punyahari.blogspot.com