KESAMAAN DAN PERBEDAAN DALAM
KEWAJIBAN DAN HAK
A. KEWAJIBAN SEBAGAI MANUSIA
Mengabdi pada Allah SWT, merupakan kewajiban umat manusia sebagaimana diperintahkan pada surat al Baqarah (2): 21, minta pertolongan merupakan hak yang muncul setelah kewajiban dilaksanakan. Bahwa dalam kenyataan sebagian besar umat manusia tidak mau mengabdi pada Allah, merupakan persoalan lain. Allah sebagai pencipta manusia telah memprediksi-kan bahwa ciptaan-Nya sebagian menjadi mukmin dan sebagian menjadi kafir (at Taghabun (64): 2).
Hak asasi yang paling mendasar diberikan Allah pada manusia adalah kemerdekaan untuk menentukan pilihannya. Tetapi itu muncul setelah ia melaksanakan kewajibannya yang paling mendasar untuk masuk dalam hidup bersama di dunia ini. Kewajiban yang paling dasar itu ialah menangis. Setiap bayi yang baru lahir harus menangis terlebih dahulu. Bahkan jika ia tak menangis, dokter atau bidan yang membantu melahirkannya memaksanya untuk menangis. Jika setelah beberapa kali dipukul ia tidak juga menangis, maka ia tak punya hak untuk hidup. Sehubungan dengan itu ia tidak mendapat-kan hak asasi dasarnya. Ini berarti kehidupannya-pun berakhir.
Setelah ia berhasil melaksanakan kewajibannya untuk menangis, barulah ia boleh menerima hak yang pertama berupa memperoleh susuan dari ibunya. Menyusui adalah hak si bayi, sedang meyusukan adalah kewajiban si ibu.
Bayi yang baru lahir ini merupakan calon muslim, apakah orangtuanya muslim atau bukan. Kepastian dia seorang muslim atau bukan, ditentukan setelah dia masuk baligh, dalam artian sampai umur untuk menentukan pilihannya apakah dia terus menjadi seorang muslim atau tidak. Batas umur untuk menentukan pilihan ini, dalam fiqh Islam ditetapkan paling lambat pada umur 15 tahun (bagi laki-laki maupun perempuan). Atau mimpi basah sampai mengeluarkan sperma bagi laki-laki dan menstruasi (haid) bagi perempuan. Sehubungan dengan itu, ada baiknya untuk dilakukan pengikraran dua kalimat syahadat oleh kedua orang tua terhadap anaknya ketika memasuki masa baligh itu. Memang tidak ada perintah yang tegas dalam hal ini dan bahkan ada yang berpendapat “untuk apa?”. Sejak masa kanak-kanak, ia sudah dilatih dan diajar untuk membaca kalimat syahadatain dan dalam shalat juga sudah terdapat kalimat syahadatain.
Menurut pendapat kami, kedua argument itu lemah. Masa belajar sebelum remaja masih bersifat ikut-ikutan. Bacaan syahadatain dalam shalat merupakan bagian dari shalat.
Berpedoman pada sunnah Rasul yang diungkap oleh Umar Ibn Khattab (Hasbi Asshidiqie, 1961) rukun Islam dimulai dari mengucapkan syahadatain. Seseorang resmi dinyatakan muslim setelah ia memasuki masa baligh, yang dalam tinjauan psikologi, memasuki masa remaja. Pada periode ini seseorang sedang mencari identitas diri dan pada masa inilah sebaiknya orang tua mengikrarkan anaknya dengan kalimat syahadatain, agar si anak mempunyai pegangan dasar.
Bagi orang tua atau keluarga muslim, diajarkan untuk menyambut kedatangan bayi itu dengan kalimat Adzan dan Iqamah bagi bayi laki-laki, sedang untuk bayi perempuan disambut dengan Iqamah dua kali yang dibisikkan di kedua telinga si bayi. Hal ini dimaksudkan agar kalimat yang pertama didengar si bayi adalah kalimat tauhid. Sehubungan dengan itu, para dokter dan bidan yang menyambut kelahiran bayi dari keluarga muslim atau yang menamakan dirinya Rumah Sakit Bersalin berlabel Islam, haruslah bekerja dengan gerakan tangan tanpa mengeluarkan suara. Demikian pula para ibu yang akan melahirkan agar siap mental dengan menyadari bahwa melahirkan itu sakit dan kalau akan mengeluh karena sakitnya, sebutkanlah kalimat-kalimat Tauhid. Hal ini untuk memberi kesempatan pada si bayi agar kalimat pertama yang didengarnya dari orang tuanya adalah kalimat Tauhid. Indra pertama yang difungsikan Allah pada si bayi adalah pendengaran, kemudian penglihatan dan sesudah itu baru perasaan (as Sajadah (32): 9; al Mulk (67): 23 dan al Insan (76): 2).
Halal merupakan nilai yang akan mempengaruhi psikis seseorang dan thayyib merupakan nilai tingkat kualitas lahiriah dari makanan, yang dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, disebut bergizi.
Jika makanan yang akan menjadi sperma atau ovum (nutfah) dan dalam perkembangannya sampai menjadi bayi dan seterusnya, berasal dari makanan yang kualitasnya halal, tentunya akan terbentuk calon bayi yang berwatak sejalan dengan ajaran Allah. Demikian pula jika makanan yang akan menjadi sperma atau ovum (nutfah) dan dalam perkembangannya sampai jadi bayi dan seterusnya berasal dari bahan makanan yang kualitasnya bergizi, tentunya akan membentuk calon bayi yang sehat, cerdas dan kuat. Bagaimana kualitas generasi mendatang, jika makanan yang menjadi sperma atau ovum bersumber dari hasil korupsi atau gratifikasi dan penyalah gunaan jabatan yang jelas dilarang dalam Islam?
Berpedoman pada perintah untuk mencari rezeki dan makan makanan yang halal dan thayyib tersebut, maka dalam Islam terdapat empat jenis makanan atau rezeki yang diambil manusia di muka bumi ini, yaitu:
1. Makanan atau rezeki yang halal dan thayyib
2. Makanan atau rezeki yang halal tapi tidak thayyib
3. Makanan atau rezeki yang tidak halal tetapi thayyib
4. Makanan atau rezeki yang tidak halal dan tidak thayyib
Ad.2. Jenis ini merupakan jenis makanan atau rezeki yang dari sisi nilai (value) memenuhi kriteria yang dikehendaki Allah, tetapi dari segi kualitas tidak bermutu yang dapat mengakibatkan fisiknya terganggu. Mental cukup baik, kepribadian menyenangkan sayang otak kurang cerdas, fisik tidak kuat, sering sakit-sakitan, karena makanan yang dicerna tidak bergizi. Bahkan mungkin membuatnya menjadi anak yang idiot.
Ad.3. Jenis ini merupakan jenis makanan atau rezeki yang dari sisi nilai (value) tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki Allah, tetapi dari sisi kualitas ia bergizi. Manusianya cerdas, fisiknya cukup kuat, hanya mentalnya memerlukan pembinaan yang sangat intensif. Jika tidak, kecerdasan otak dan kekuatan fisik yang dipunyainya dapat digunakan untuk perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, baik hukum agama maupun hukum negara, keahlian yang dipunyainya dapat digunakan untuk kepentingan diri dan kroninya.
Ad.4. Jenis ini yang paling menyedihkan dan paling sulit untuk pembenahannya. Ia memerlukan perhatian dari semua pihak. Sebaiknya kelompok ini ditang-gulangi negara dan memasukkan mereka ke dalam panti-panti sosial dengan pembinaan mental dan fisik yang diiringi dengan makanan yang bergizi, sampai mereka mampu mendapatkan rezeki yang halal dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk penyediaan makanan yang bergizi.
Meski demikian, bukan berarti bahwa mereka yang berasal dari kelompok yang memperoleh jenis rezeki dan makanan yang halal dan thayyiban akan selalu menghasilkan manusia yang berkualitas mental dan fisiknya. Jika ia hidup dalam lingkungan yang bermental rusak, dapat saja ia terbawa dengan pengaruh lingkungan. Namun, bila cepat diketahui, menariknya kembali ke jalan yang benar, agak lebih mudah, karena dasarnya ia sudah bermutu.
Demikian pula halnya, mereka yang memperoleh kualitas makanan yang tidak bergizi, tetapi halal, untuk memperbaiki tidak begitu sulit, karena ini hanya menyangkut pembinaan fisik dan pemberian tunjangan untuk mendapatkan makanan yang bergizi. Memberikan makanan yang bergizi sebenarnya adalah merupakan salah satu tugas negara.
Yang sulit adalah bagi mereka yang terlanjur mendapat makanan dan rezeki yang tidak halal. Pembinaan mental saja tidak akan cukup, selama dalam rumah dan harta kekayaan yang melingkari dirinya masih dari rezeki yang tidak halal. Untuk itu, sebaiknya negara menyediakan pos anggaran penerimaan melalui rekening bank tertentu untuk menampung pengembalian rezeki yang tidak halal itu dari warga negaranya yang terlanjur salah dan luput dari pengejaran hukum. Walaupun ia luput dari pengejaran hukum karena hukum pembuktian terbalik belum diberlakukan, mental yang bersangkutan tetap akan terganggu yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan berupa:
1. Penyesalan (al Maidah (5): 35, al Furqan (25): 27-28)
2. Malu (Qashas (28): 25) yang selalu bersemi dalam dirinya.
Adanya keinginan untuk mengembalikan rezeki dari hasil korupsi atau gratifikasi dan penyalahgunaan jabatan serta adanya pos anggaran penerimaan Negara untuk menampung pengembalian rezeki yang tidak halal itu, akan dapat mengurangi tekanan batin yang melekat pada dirinya. Munculnya rasa bersalah, berarti pintu tobat masih terbuka baginya. Tobat tidak akan mulus jika hasil korupsi itu masih bertahan di sekeliling dirinya.
Pada sebagian besar umat manusia yang tak mengenal Islam secara mendalam, mereka lebih berfokus pada hak asasi dasar yang diberikan Allah, yaitu kemerdekaan dalam menentukan pilihan hidup. Untuk menentukan pilihan hidup itu, manusia dibekali dengan otak dan qalb yang dapat digunakannya untuk berfikir dan menggunakan akalnya dalam mencapai tujuan hidup. Selanjutnya, terserah padanya untuk menentukan apakah tujuan hidupnya untuk kesejahteraan di dunia saja, atau kesejahteraan hidup di akhirat saja atau kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Apapun pilihan hidup yang diinginkannya, harus dilandasi ilmu. Sayangnya, dunia ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat, tidak mengenal perbedaan fikir dengan akal atau bahkan menyamakannya. Hal ini berdampak pada pilihan menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata, sementara kehidupan akhirat dianggap sebagai kajian yang tidak rasional.
Di samping hak asasi dasar, manusia juga diberi hak untuk memilih dan menempati pendidikan. Melalui lembaga pendidikan, ia akan memperoleh informasi yang lebih luas. Jika ia memilih lembaga pendidikan yang mencontoh pendidikan Barat yang bersifat sekuler, maka ia hanya mendapatkan informasi tentang kehidupan di dunia saja dan bersifat pengantar dalam pergaulan horizontal. Sarat dengan peralatan teknologi yang serba menakjubkan yang bermanfaat untuk kesejahteraan lahiriah umat manusia. Bila ia memilih lembaga pendidikan yang bernuansa ke Islaman, ia akan mendapatkan bukan hanya informasi tentang kehidupan di akhirat semata, tetapi juga (seharusnya) informasi kehidupan dunianya. Hanya sayang, belum ada lembaga pendidikan yang bernuansa ke Islaman, mampu mengimbangi peralatan pendidikan dunia Barat.
Prinsip dasar yang harus bersemi dalam dan menjadi visi pendidikan Islam adalah hablum minallah dan hablum minannas, atau yang lebih dikenal dengan kalimat “menjalin ikatan vertikal (yaitu hubungan manusia dengan Allah) ikatan horizontal (yaitu hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya, jika visi ini menjadi visi bersama umat Islam dalam pendidikan, kekurangan alat-alat teknologi pendidikan yang ada pada dunia sekuler akan dapat di kejar.
Terkait dengan uraian di atas, terlihat ada empat bidang kehidupan yang dapat bebas dilalui dan menjadi pilihan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu:
1. Dekat dari Allah dan dekat dari sesama manusia.
2. Dekat dari Allah tetapi jauh dari sesama manusia.
3. Jauh dari Allah tetapi dekat dari sesama manusia.
4. Jauh dari Allah dan jauh dari sesama manusia.
Ditimpakan kesengsaraan pada mereka di manapun berada, kecuali jika mereka berpegang teguh pada ikatan dari Allah dan ikatan dari sesama manusia. Mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan diliputi kehinaan, disebabkan mereka ingkar dengan ayat-ayat Allah dan mereka membunuh ajaran para nabi tanpa hak, mereka durhaka dan melampaui batas (Ali Imran (3): 112).
Sebagai umat yang hidup berpedoman pada al Qur’an, seharusnya mereka memilih pola hidup yang pertama. Realitas dalam kehidupannya akan tampak dalam hidup kesehariannya. Ia taat beribadah kepada Allah dan pandai menjaga pergaulan dengan sesama manusia dalam wujud toleransi se-agama dan toleransi antar agama, serta selalu menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungannya.
B. KEWAJIBAN DALAM PERIBADATAN
Beribadah merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang apakah ia laki-laki atau perempuan. Surat az Dzariyat (51): 56 menyatakan bahwa Allah mencipta-kan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Dalam ilmu Fiqh, ibadah dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a. Ibadah mahdhah atau disebut juga ibadah khas, yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah ditentukan, seperti shalat, puasa, dan haji. Dalam sosiologi agama, ibadah ini disebut ibadah ritual.
b. Ibadah ghairu mahdhah yang disebut juga ibadah aam, yaitu semua kegiatan yang dilakukan manusia pada jalan yang diridhai Allah dan dilandasi niat (motivasi) lillahi ta’ala. Dalam sosiologi agama, kegiatan ini disebut ibadah non-ritual.
Ad.a. Suatu kegiatan apapun bentuknya, ritual atau non ritual disebut sebagai ibadah kepada Allah, apabila didahului dengan niat “saya mengerjakannya lillahi ta’ala”. Tanpa niat “lillahi ta’ala” ia tidak dapat disebut ibadah, meskipun kegiatan yang dilakukan seperti kegiatan ibadah shalat, puasa atau haji. Ia dinyatakan sebagai ibadah jika kegiatan itu dilakukan dengan motivasi perintah Allah, dilaksanakan secara khusu’ berlandaskan harapan pada suatu waktu akan bertemu dengan Allah dan berkeyakinan kita akan kembali kepada-Nya (al Baqarah (2): 46). Tak ada perbedaan dalam pelaksanaannya baik pada laki-laki atau perempuan, kecuali dalam bentuk pakaian yang harus menutup aurat ketika melakukan shalat dan haji.
Shalat dikerjakan minimal 5 kali sehari semalam yang merupakan shalat wajib sepanjang hayat sejak masuk umur baligh sampai detik terakhir meng-hadapi kematian selama masih sadar. Jika masih dalam kondisi segar, dimulai dengan berdiri, kalau tak mampu berdiri dilakukan dengan duduk dan kalau tak sanggup duduk dilakukan sambil terbaring. Dilaksanakan sesuai dengan contoh yang diajarkan nabi Muhammad “Shalatlah kalian seperti kalian lihat aku shalat”, pada waktu-waktu yang telah ditetapkan sekalipun dalam perjalanan baik di mobil, di kereta, di kapal atau pesawat. Keringanan diberikan pada mereka yang sakit atau dalam perjalanan dengan cara menjamak dan/atau Qashar. Khusus bagi wanita yang menstruasi diberi kebebasan untuk tidak shalat selama menstruasinya atau selama 40 hari setelah melahirkan.
Diberi nilai lebih bagi mereka yang dapat melakukan shalat berjamaah. Bagi mereka yang sudah berumah tangga, sebaiknya sejak awal suami isteri membiasakan shalat berjama’ah setiap ada kesempatan, terutama ketika di rumah. Ketika sudah punya anak, anak-anak pun diajak untuk juga shalat berjama’ah. Hal ini akan memberi dampak positif untuk keutuhan dan kerukunan berumah tangga. Jika berkesempatan shalat berjama’ah ke mesjid, pergilah bersama. Jangan suami menyelamatkan diri sendiri shalat berjama’ah ke mesjid, sementara isteri ditinggal di rumah shalat sendiri, kecuali dia sedang menstruasi. Pemahaman bahwa perempuan sebaiknya shalat sendiri, di tempat yang tertutup, perlu dikaji ulang kembali (al Ghazali, 1989, hlm. 71-72). Kajian ulang ini tentunya termasuk keikutsertaan perempuan dalam shalat Jum’at. Bukankah yang diseru untuk shalat Jum’at itu untuk orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan (al Jum’ah (62): 9-11). Baik laki-laki atau perempuan punya hak yang sama untuk mencapai tingkat taqwa. “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang lebih taqwa (al Hujurat (49): 13). Hadist diriwayatkan Abu Awamah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari riwayat Ustman Ibn Waqil menyatakan bahwa nabi bersabda:
“Siapa yang akan pergi shalat Jum’at baik laki-laki atau perempuan, hendaklah ia mandi dan siapa yang tidak pergi, tidak perlu mandi”. (Ash Shiddiqy, 1962, 244).
Hadist ini jelas menyatakan bahwa yang pergi shalat Jum’at itu adalah laki-laki dan perempuan. Dari berbagai hadist lain yang memberi pengecualian pada perempuan untuk tidak melakukan shalat Jum’at adalah hadist yang bersumber dari Siti Aisyah yang menyatakan keinginannya untuk ikut shalat Jum’at dan nabi menjawab bahwa bagi perempuan (wanita) lebih afdhal untuk menyiapkan makan siang bagi suaminya. Jawaban nabi itu tentu terkait dengan kebiasaan bangsa Arab yang membudayakan bahwa hari Jum’at adalah hari libur dan makan siang setelah pulang shalat Jum’at. Surat al Jum’ah (62): 10, memberi kesan bahwa Islam tidak menetapkan hari Jum’at sebagai hari libur, melainkan Jum’at adalah hari kerja. Hanya diperintahkan ketika dipanggil untuk shalat Jum’at, tinggalkan segala aktivitas dan setelah selesai shalat, bertebaranlah untuk mencari rezeki yang telah disediakan Allah. Sehubungan dengan itu, bagi masyarakat yang tidak menetapkan hari Jum’at sebagai hari libur, suami tidak pulang makan siang, atau pada masyarakat yang menganut pola makan dua kali sehari yaitu pada waktu dhuha dan sore hari, atau suami isteri bekerja dan makan siang di kantor masing-masing. Mengapa perempuan tidak ikut shalat Jum’at dan sedikit sekali mesjid yang menyediakan tempat untuk shalat Jum’at bagi perempuan. Sementara di Mekkah dan Madinah, perempuan gadis maupun berkeluarga, bahkan datang ke mesjid membawa bayi, pergi menunaikan shalat Jum’at.
Untuk itu kajian yang mengatakan bahwa shalat Jum’at adalah tidak wajib bagi perempuan, bahkan ada yang berpendapat tidak boleh, perlu ditelusuri kembali. Tidakkah pendapat ini menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua? Padahal shalat Jum’at mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan shalat biasa. Hanya satu hal yang perlu dijaga agar jangan emansipasi kebablasan adalah posisi shalat perempuan yang harus berada di belakang laki-laki, termasuk untuk menjadikan perempuan sebagai imam shalat tidak diperkenankan jika jamaahnya ada yang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsentrasi shalat, terutama bagi laki-laki yang berada di belakang. Bukankah daya seksual laki-laki, salah satunya berada pada mata? Pengecualian kasus terjadinya laki-laki shalat di belakang kaum perempuan hanya di Masjidil Haram, terutama pada musim haji.
Menstruasi pada bulan Ramadhan dan ibadah haji, juga penghambat bagi kaum perempuan untuk melaksanakannya secara utuh puasa pada bulan Ramadhan dan berpakaian ihram pada musim haji dan umrah. Oleh karena puasa Ramadhan yang tidak terlaksana disebabkan menstruasi, harus diganti pada hari lain, sedang untuk pelaksanaan ihram pada waktu umrah dan haji, sebaiknya harus diperhitungkan benar agar menstruasi tidak bertepatan dengan ibadah umrah dan haji. Namun saat ini para ahli sudah menemukan obat penunda datangnya menstruasi. Terserah pada perempuan untuk menggunakannya atau tidak.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa baik laki-laki ataupun perempuan, punya kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat iman dan takwa. Adanya masa menstruasi pada perempuan, tidak akan mengurangi ibadah seorang perempuan, karena menstruasi itu sudah merupakan sunnatullah sampai umur tertentu yang memberi tanda jika seorang perempuan berhenti menstruasi, berarti ia tidak dapat lagi melahirkan.
Ad.b. Niat (motivasi) merupakan awal dari setiap kegiatan yang akan dilakukan, apakah itu berbentuk ibadah ritual maupun non-ritual. Niat untuk ibadah ritual hanya satu yaitu lillahi ta’ala, sedang niat untuk ibadah non-ritual dapat berupa niat rangkap, artinya di samping niat lillahi ta’ala dapat ditambah dengan niat dari aspek keduniaannya.
Seseorang yang akan melaksanakan shalat, niat atau motivasinya hanya satu yaitu “saya kerjakan shalat ini lillahi ta’ala”. Apakah setelah itu ia akan mendapatkan penilaian dari Allah atau tidak, tergantung sepenuhnya pada Allah, karena Allah yang dapat menilai apakah shalat itu dapat diterima oleh Allah atau tidak. Kewajiban manusia hanya melaksanakan, karena ini merupakan perintah Allah.
a. A mempunyai niat menuntut ilmu “lillahi ta’ala”, agar mendapat pekerjaan yang lebih baik.
b. Setelah selesai menuntut ilmu, melalui jalur n, Allah menggerakkan hati si A untuk menemui si B, melalui jalur m.
c. Jika ia gagal dengan B, Allah memberi alternatif untuk bertemu dengan C melalui jalur p, atau Allah menggerakkan hati C untuk mencari A melalui jalur p, karena ilmu yang dituntut A sesuai dengan bidang yang diperlukan C.
Demikian selanjutnya untuk setiap pekerjaan atau kegiatan yang terlihat sebagai kegiatan keduniawian, tetapi jika dilakukan dengan landasan motivasi “karena Allah”, ia mempunyai nilai ibadah dan memiliki nilai ukhrawi. Tetapi jika motivasi “karena Allah” itu ditinggalkan, maka kalau ia berhasil ia hanya memperoleh aspek dunianya semata. Namun di sisi lain jika ia gagal pula memperoleh aspek dunianya, akan menimbulkan gangguan kejiwaan, sebagai mana dinyatakan dalam surat Yunus (10): 23.
Macam-macam gangguan kejiwaan yang diungkap al Qur’an, antara lain:
1. Penyesalan al Maidah: (5): 35, al Furqan (25): 27-28).
2. Cemburu (Yusuf (12): 8-9).
3. Iri / dengki (an Nisa’ (4): 54, al Baqarah (2): 109, al Falaq (113): 5).
4. Sedih (al Baqarah (2): 112, Ali Imran (3): 176, al An’am (6): 33, at Taubah (9): 40, 92, Yusuf (12): 84-86).
5. Benci (al Baqarah (2): 216, Ali Imran (3): 118, at Taubah (9): 51).
0 komentar:
Posting Komentar