METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU
Oleh
Syaikh Abdul Adhim Badawi
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah,
nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru
kepada para sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada
tabi'in). Namun bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita
mendengarkan (perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat
ketaatan, dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak
mengamalkan.
Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia.
Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan
pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah seorang sahabat.
"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan
nasehat mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan"
[Muttafaqun Alaihi]
Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka
mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wajib diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan
komando atasannya di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan
serta kehinaanlah yang akan dialami.
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah
'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat
sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga
tidak terlambat mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli
tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini
(dengan berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab
turunnya ayat itu :
Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di
antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan
orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak
dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah
'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa
mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab
terhadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit
putih terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara
mereka). Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla.
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [Al-Hujurat : 13]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda'
(pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit
faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin
menonjol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berpendapat untuk menanamkan pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk
amal perbuatan (yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam
lingkungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini
dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam
dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy
anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang
tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
mengawinkannya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat
Allah menjadi orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala
beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab
binti jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah
dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Engkau
harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi Allah, selamanya
saya tidak akan menikahinya".
Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu :
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut
kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia
menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya",
maka Zainab berkata : "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan
RasulNya, lalu akupun menikah dengan Zaid".
Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan
hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya.
Maka tatkala turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang,
setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah
menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga
Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan
RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan
RasulNya, sedangkan Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]
[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 -
1424H, terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya]
0 komentar:
Posting Komentar